SEJARAH KEMUNCULAN SYIAH
Syiah
menurut etimologi bahasa arab bermakna pembela dan pengikut seseorang, selain
itu juga bermakna setiap kaum yang berkumpul diatas suatu perkara. (Tahdzibul
Lughah, 3/61 karya Azhari dan Taajul Arus, 5/405, karya Az-Zabidi)
Adapun
menurut terminologi syariat, syiah bermakna mereka yang menyatakan bahwa Ali
bin Abu Thalib lebih utama dari seluruh sahabat dan lebih berhak untuk menjadi
khalifah kaum muslimin, begitu pula sepeninggal beliau (Al-Fishal Fil Milali
Wal Ahwa Wan Nihal karya Ibnu Hazm)
Syiah
mulai muncul setelah pembunuhan khalifah Utsman bin ‘Affan. Pada masa
kekhalifahan Abu Bakar, Umar, masa-masa awal kekhalifahan Utsman yaitu pada
masa tahun-tahun awal jabatannya, Umat islam bersatu, tidak ada perselisihan.
Kemudian pada akhir kekhalifahan Utsman terjadilah berbagai peristiwa yang
mengakibatkan timbulnya perpecahana, muncullah kelompok pembuat fitnah dan
kezhaliman, mereka membunuh Utsman, sehingga setelah itu umat islam pun
berpecah-belah.
Pada
masa kekhalifahan Ali juga muncul golongan syiah akan tetapi mereka
menyembunyikan pemahaman mereka, mereka tidak menampakkannya kepada Ali dan
para pengikutnya.
Saat
itu mereka terbagi menjadi tiga golongan.
- Golongan
yang menganggap Ali sebagai Tuhan. Ketika mengetahui sekte ini Ali
membakar mereka dan membuat parit-parit di depan pintu masjid Bani Kandah
untuk membakar mereka. Imam Bukhari meriwayatkan dalam kitab shahihnya,
dari Ibnu Abbas ia mengatakan, “Suatu ketika Ali memerangi dan membakar
orang-orang zindiq (Syiah yang menuhankan Ali). Andaikan aku yang
melakukannya aku tidak akan membakar mereka karena Nabi pernah melarang
penyiksaan sebagaimana siksaan Allah (dibakar), akan tetapi aku pasti akan
memenggal batang leher mereka, karena Nabi bersabda:
من بدل دينه فاقتلوه
“Barangsiapa yang mengganti agamanya (murtad) maka bunuhlah ia“ - Golongan
Sabbah (pencela). Ali mendengar tentang Abu Sauda (Abdullah bin
Saba’) bahwa ia pernah mencela Abu Bakar dan Umar, maka Ali mencarinya.
Ada yang mengatakan bahwa Ali mencarinya untuk membunuhnya, akan tetapi ia
melarikan diri
- Golongan
Mufadhdhilah, yaitu mereka yang mengutamakan Ali atas Abu Bakar dan
Umar. Padahal telah diriwayatkan secara mutawatir dari Nabi
Muhammad bahwa beliau bersabda,
خير
هذه الأمة
بعد نبيها
أبو بكر
ثم عمر
“Sebaik-baik umat ini setelah
nabinya adalah Abu Bakar dan Umar”.
Riwayat semacam ini dibawakan oleh imam Bukhari dalam kitab shahihnya, dari Muhammad bin Hanafiyyah bahwa ia bertanya kepada ayahnya, siapakah manusa terbaik setelah Rasulullah, ia menjawab Abu Bakar, kemudian siapa? dijawabnya, Umar.
Riwayat semacam ini dibawakan oleh imam Bukhari dalam kitab shahihnya, dari Muhammad bin Hanafiyyah bahwa ia bertanya kepada ayahnya, siapakah manusa terbaik setelah Rasulullah, ia menjawab Abu Bakar, kemudian siapa? dijawabnya, Umar.
Dalam
sejarah syiah mereka terpecah menjadi lima sekte yang utama yaitu Kaisaniyyah,
Imamiyyah (rafidhah), Zaidiyyah, Ghulat dan Ismailliyah. Dari kelima sekte
tersebut lahir sekian banyak cabang-cabang sekte lainnya.
Dari
lima sekte tersebut yang paling penting untuk diangkat adalah sekte imamiyyah
atau rafidhah yang sejak dahulu hingga saat ini senantiasa berjuang keras untuk
menghancurkan islam dan kaum muslimin, dengan berbagai cara kelompok ini terus
berusaha menyebarkan berbagai macam kesesatannya, terlebih setelah berdirinya
negara syiah, Iran yang menggulingkan rezim Syah Reza Pahlevi.
Rafidhah
menurut bahasa arab bermakna meninggalkan, sedangkah dalam terminologi syariat
bermakna mereka yang menolak kepemimpinan abu bakar dan umar, berlepas diri
dari keduanya, mencela lagi menghina para sahabat nabi.
Abdullah
bin Ahmad bin Hanbal berkata, “Aku telah bertanya kepada ayahku, siapa Rafidhah
itu?” Maka beliau menjawab, “Mereka adalah orang-orang yang mencela Abu Bakr
dan Umar.” (ash-Sharimul Maslul ‘Ala Syatimir Rasul hlm. 567, Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah)
Sebutan
“Rafidhah” ini erat kaitannya dengan Zaid bin ‘Ali bin Husain bin ‘Ali bin Abu
Thalib dan para pengikutnya ketika memberontak kepada Hisyam bin Abdul Malik
bin Marwan di tahun 121 H. (Badzlul Majhud, 1/86)
Syaikh
Abul Hasan al-Asy’ari berkata, “Tatkala Zaid bin ‘Ali muncul di Kufah, di
tengah-tengah para pengikut yang membai’atnya, ia mendengar dari sebagian
mereka celaan terhadap Abu Bakr dan ‘Umar. Ia pun mengingkarinya, hingga
akhirnya mereka (para pengikutnya) meninggalkannya. Maka beliaupun mengatakan
kepada mereka:
رَفَضْتُمُوْنِي؟
“Kalian
tinggalkan aku?”
Maka
dikatakanlah bahwa penamaan mereka dengan Rafidhah dikarenakan perkataan Zaid
kepada mereka “Rafadhtumuunii.” (Maqalatul Islamiyyin,
1/137). Demikian pula yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
dalam Majmu’ Fatawa (13/36).
Pencetus
paham syiah ini adalah seorang yahudi dari negeri Yaman (Shan’a) yang bernama
Abdullah bin saba’ al-himyari, yang menampakkan keislaman di masa kekhalifahan
Utsman bin Affan.
Abdullah
bin Saba’ mengenalkan ajarannya secara terang-terangan, ia kemudian menggalang
massa, mengumumkan bahwa kepemimpinan (imamah) sesudah Nabi Muhammad seharusnya
jatuh ke tangan Ali bin Abi Thalib karena petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam (menurut persangkaan mereka).
Menurut
Abdullah bin Saba’, Khalifah Abu Bakar, Umar dan Utsman telah mengambil alih
kedudukan tersebut. Dalam Majmu’ Fatawa, 4/435, Abdullah bin Shaba menampakkan
sikap ekstrem di dalam memuliakan Ali, dengan suatu slogan bahwa Ali yang
berhak menjadi imam (khalifah) dan ia adalah seorang yang ma’shum (terjaga dari
segala dosa).
Keyakinan
itu berkembang terus-menerus dari waktu ke waktu, sampai kepada menuhankan Ali
bin Abi Thalib. Ali yang mengetahui sikap berlebihan tersebut kemudian
memerangi bahkan membakar mereka yang tidak mau bertaubat, sebagian dari mereka
melarikan diri.
Abdullah
bin Saba’, sang pendiri agama Syi’ah
ini, adalah seorang agen Yahudi yang penuh makar lagi buruk. Ia disusupkan di
tengah-tengah umat Islam oleh orang-orang Yahudi untuk merusak tatanan agama
dan masyarakat muslim. Awal kemunculannya adalah akhir masa kepemimpinan
Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan. Kemudian berlanjut di masa kepemimpinan Khalifah
‘Ali bin Abi Thalib. Dengan kedok keislaman, semangat amar ma’ruf nahi mungkar,
dan bertopengkan tanassuk (giat beribadah), ia kemas berbagai misi jahatnya.
Tak hanya aqidah sesat (bahkan kufur) yang ia tebarkan di tengah-tengah umat,
gerakan provokasi massa pun dilakukannya untuk menggulingkan Khalifah ‘Utsman
bin ‘Affan. Akibatnya, sang Khalifah terbunuh dalam keadaan terzalimi.
Akibatnya pula, silang pendapat diantara para sahabat pun terjadi. (Lihat Minhajus
Sunnah karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, 8/479, Syarh Al-‘Aqidah
Ath-Thahawiyyah Ibnu Abil ‘Izz hlm. 490, dan Kitab At-Tauhid karya
Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hlm. 123)
Rafidhah
pasti Syi’ah, sedangkan Syi’ah belum tentu Rafidhah. Karena tidak semua Syi’ah
membenci Abu Bakr dan ‘Umar sebagaimana keadaan Syi’ah Zaidiyyah, sekte syiah
yang paling ringan kesalahannya.
[Disusun
dari dari berbagai sumber, di antaranya kitab Al-Furqon Bainal Haq Wal Batil
tulisan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, judul bahasa indonesia “Membedah
Firqoh Sesat” penerbit Al-Qowam]
MADZHAB – MADZHAB SYIAH
Berbicara mengenai aliran Syiah atau
Madzhab Syiah dan macam ragamnya, maka perlu diketahui bahwa Madzhab Madzhab
Syiah itu mempunyai nama dan ada bermacam macam namanya.
Karenanya
apabila kita membahas atau mengkaji aliran Syiah atau Madzhab Syiah, maka harus
jelas nama aliran yang sedang kita bahas. Sebab setiap Madzhab Syiah mempunyai
keyakinan yang berbeda beda.
Nama
nama Syiah tersebut bermunculan diabad ketiga. Sedang sebelumnya mereka hanya
dikenal dengan sifat mereka dan julukan mereka, seperti Ghula, Rofidhoh atau
dinisbatkan kepemimpinnya seperti Saba’iyyah atau dinisbatkan ke tokoh yang di
klaim sebagai Imamnya atau pemimpinnya.
Disebut
Ghulu atau Ghula atau Ghulat karena mereka mempunyai sifat yang berlebihan
dalam aqidahnya dan berlebihan dalam cintanya kepada Sayyidina Ali kw, bahkan
ada yang menganggap Sayyidina Ali kw sebagai Tuhan. Itulah sebabnya oleh
Sayyidina Ali kw mereka sampai dibunuh (dibakar), dan Abdulah bin Saba’ diusir
ke Madain Persia. Mereka itulah yang dikenal dengan ”Muhibbun Ghollin” Pecinta
yang berlebihan.
Rosululloh
SAW pernah bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: يا علي يهلك فيك اثنان محب غال ومبغض
Wahai
Ali, celaka dua golongan yang sikapnya terhadapmu, sebagai pecinta yang berlebihan
(kelewat) dan pembenci.
Sedang Sayyidina Ali pernah berkata:
وقال
سيدنا علي بن أبي طالب كرم الله وجهه: يهلك فينا اثنان محب غالٍ ومبغض قالٍ.
“Celaka
dua golongan yang sikapnya terhadap kami, sebagai pecinta yang berlebihan
(kelewat) dan pembenci yang mengumpat”.
Dari
sifat mereka yang berlebihan tersebut maka mereka disebut Ghulu atau Ghula atau
Ghulat.
Adapun
Rofidhoh adalah julukan (Nabzon) dari Rosululloh bagi orang orang yang memusuhi
dan membenci Sayyidina Abubakar ra dan Sayyidina Umar ra.
Rasulullah
SAW pernah bersabda :
سَيَأتِىْ
مِنْ بَعْدِى قَوْمٌ لَهُمْ نَبْزٌ يُقَاُل الرَّافِضَةْ، فَاِذَا أَدْرَكْتَهُمْ
فَاقْتُلْهُمْ فَاِنَّهُمْ مُشْرِكُوْنْ.
(رواه الامام احمد والدار
قطنى)
Akan
muncul sesudah aku tiada, satu golongan yang mendapat julukan Rofidhoh. Jika
kamu mendapatkan mereka, maka bunuhlah (perangilah) mereka. Sebab mereka itu
orang orang musyrik.
Mendengar
keterangan Rasululloh SAW tersebut, Sayyidina Ali kw segera bertanya kepada
Rasululloh SAW mengenai tanda tandanya orang Rofidhoh tersebut.
Rasulullah
SAW menjawab :
يَنْتَحِلُوْنَ
حُبّ أَهْل البَيْتْ وَلَيْسُوا كَذَلِكْ، وَأيَةُ ذَلِكْ أَنَّهُمْ يَسُبُّوْنَ
اَبَابَكَرْ وَعُمَرْ (الدار قطنى)
Mereka
itu seakan akan mencintai Ahlul Bait, padahal mereka itu tidak demikian. Sedang
tanda tandanya, mereka itu suka mencaci maki Abu Bakar dan
Umar. (Ad-dhar Gutni)
Namun
saat ini Madzhab Syiah yang bermacam macam namanya itu tinggal beberapa saja
yang masih berkembang, yaitu:
1.
Madzhab Syiah Zaidiyyah yang berpusat di Yaman utara. Mereka kemudian
berkembang, ada yang namanya Batariyyah, Sulaimaniyyah dan Jarudiyyah. Tapi
sekarang karena pengaruh Iran, sebagian dari mereka sudah beralih ke Syiah
Imamiyyah Itsna’asyariyyah. Mereka inilah yang tempo hari memberontak di Yaman.
2.
Syiah Ismailiyyah, berkembang di India dan Pakistan dengan sebutan Buhroh. Di
Indonesia (Surabaya) ada beberapa orang India yang masih mengikuti Madzhab ini.
Mereka hanya berkembang diantara keluarga mereka sendiri.
Disamping
Syiah Buhroh, saat ini di Syria dan sekitarnya masih ada kelompok kelompok
kecil pecahan dari Ismailiyyah, seperti Nushoiriyyah, Druz dll. Namun mereka
sekarang sudah mulai tergeser dengan berkembangnya aliran Syiah Imamiyyah
Itsna’asyariyyah yang di export oleh Khumaini ke daerah mereka. Dulu Mesir
pernah dikuasai oleh pemerintahan Fathimiyyah, mereka juga pecahan dari
Ismailiyah.
3.
Syiah Imamiyyah Itsna’asyariyyah berpusat di Iran. Oleh Khumaini aliran ini di
export keseluruh dunia Islam. Syiah inilah yang sekarang berkembang di
Indonesia, dengan menggunakan nama samaran Madzhab Ahlul Bait atau Madzhab
Ja’fariyyah. Diantara tokoh mereka Hasan Dzalil, Jalaluddin Rahmat, Umar
Syahab, Utsman Umar Syihab dll. Dengan dana yang besar dari Iran, mereka
mendekati dan memberangus tokoh tokoh kita dan ditamasyakan ke Iran untuk
dicuci otaknya.
Saat
ini Syiah inilah yang paling sesat dan paling berbahaya diantara Syiah Syiah
yang ada. Perbedaan kita Ahlussunnah dengan mereka disamping dalam Furu’ juga
dalam Ushul. Rukun Islam mereka berbeda dengan Rukun Islam kita Ahlussunnah,
juga Rukun Iman mereka berbeda dengan Rukun Iman kita. Dan mereka mendudukkan
Imam Imam mereka diatas para Rosul.
Mereka
juga berkeyakinan bahwa Al-Qur’an yang kita baca sekarang ini sudah Muharrof
atau tidak asli, artinya sudah dirubah oleh para Sahabat. Keyakinan yang
demikian itu membuat mereka keluar dari Islam, sebab telah menolak Kalamulloh,
dimana Alloh telah berfirman: “Kamilah yang telah menurunkan Alqur’an dan Kami
yang menjaganya”. Disamping itu masih banyak lagi keyakinan keyakinan mereka
yang membuat para Ulama menghukum mereka Kafir.
Kemudian
karena mereka juga berkeyakinan dengan adanya “Roj’ah“, maka mereka oleh para
ulama juga disebut Ghula.
Selanjutnya
karena kebencian mereka kepada Sayyidina Abubakar ra dan Sayyidina Umar ra,
maka mereka juga disebut Rofidhoh. ( Baca buku “Export Revolusi
Syiah Ke Indonesia” )
MASUKNYA SYIAH DI INDONESIA
Para pemeluk Syiah di Indonesia sekarang banyak yang percaya, para pembawa Islam ke Indonesia ini adalah orang-orang Syiah. Bukan para sufi. Bukan pula para pedagang yang bermazhab Syafi’i. Namun, karena melakukan taqiyah, orang-orang Syiah pertama yang dimaksud berpura-pura menjalankan praktik-praktik Islam berdasarkan mazhab Syafi’i sampai akhirnya mazhab Syafi’ilah yang dikenal dan dicatat sejarah sebagai mazhab tertua yang berkembang di Indonesia. Lebih jauh lagi, sebagian pemeluk Syiah di negeri kita ini membuat klaim, penguasa muslim pertama di Nusantara yang bernama Sultan Malik ash-Shalih adalah penguasa Samudera Pasai pertama yang memeluk Syiah. Seperti yang dicatat sejarah, Kesultanan Samudera Pasai dikenal sebagai kesultanan tertua di Nusantara yang bermazhab Syafi’i. Keyakinan itu, ternyata didasarkan pada catatan perjananan Ibnu Batutah, seorang pelancong dari Maroko yang pernah singgah di Aceh pada tahun 1345—1346 M. Ia menulis, “Sultan Jawa bernama Sultan Malik azh-Zhahir. Ia adalah sosok yang disegani dan dihormati. Lebih dari itu, ia termasuk penganut mazhab Syafi’i. Ia juga sangat mencintai para fuqaha yang datang ke majelisnya untuk bertukar pendapat. Masyarakat mengenalnya sebagai sosok yang senang berjihad dan berperang, namun juga rendah hati. Ia datang ke masjid untuk menunaikan shalat Jum’at dengan berjalan kaki.
Para penduduk Jawa mayoritas bermazhab Syafi’i. Mereka senang berjihad bersama sultan, hingga mereka memenangkan peperangan melawan orang-orang kafir. Bahkan, orang-orang kafir membayar jizyah kepada sultan sebagai bentuk perdamaian.” Apakah Ibnu Batutah dapat dipercaya? Sepertinya, kita semua sudah tahu jawabannya. Amat disayangkan, klaim orangorang Syiah itu diperkuat oleh pendapat kalangan pemerhati sejarah Islam di Indonesia. S.Q. Fatimi, A. Hasjmy, Wan Husein Azmi, Abu Bakar Aceh, dan Agus Sunyoto, adalah orang-orang yang pernah menulis bahwa Syiah telah ada pada masa-masa pertama perkembangan Islam di Kepulauan Nusantara. Keluar dari berbagai dugaan dan klaim, gelombang penyebaran Syiah di Indonesia dapat dibagi menjadi tiga. Masing-masing menempati waktu, memiliki ciri khas penyebaran, dan mengonversi orang-orang dengan tipikal tertentu.
Gelombang Pertama
Gelombang pertama terjadi sebelum Revolusi Iran tahun 1979. Pada gelombang pertama ini, orang-orang Syiah—dai atau bukan dai—terbilang sulit untuk diketahui. Terlebih lagi, mereka menjalankan taqiyah yang itu menjadi bagian penting agama mereka. Karena itu, para pemeluk Syiah pada masa itu bersifat sangat tertutup dan betul-betul menyembunyikan keyakinan Syiah mereka dari orang-orang sekitar. Alih-alih berdakwah secara terangterangan, orang-orang Syiah tersebut lebih memilih mendakwahkan Syiah kepada orang-orang terdekat mereka, seperti kepada anggota keluarga sendiri. Lagi pula, yang terpenting bagi waktu itu adalah bagaimana mereka tetap eksis sebagai seorang Syiah, meski dalam hati atau meski di tengah keluarga. Jelas saja, karena laku taqiyah khas Syiah itu, memperkirakan sedikit atau banyak orang yang memeluk Syiah pada gelombang pertama ini menjadi sebuah kemustahilan.
Kendati demikian, salah seorang ulama Syiah asal Lebanon, Muhammad Jawad Mughniyyah, pernah menyebutkan dalam bukunya yang terbit pada 1973, al-Shi’a fi al-Mizan, bahwa para pemeluk Syiah di Indonesia pada waktu itu berjumlah satu juta orang. Yang juga patut dicatat, sebelum Revolusi Iran meletus pada 1979, sejumlah pemuda Indonesia sudah ada yang berangkat dan belajar di Qum, Iran. Selain Najaf dan Karbala di Irak serta Masyhad di Iran, Qum menjadi salah satu dari empat kota suci milik Syiah yang banyak dikunjungi untuk keperluan ziarah dan belajar. Di Qum, para pemuda yang dimaksud memperdalam ajaran Syiah di hawzahhawzah ilmiyah, semacam lembaga pendidikan tradisional di kalangan Syiah yang dalam bahasa Indonesia dapat dimaknakan sebagai pondok pesantren atau juga madrasah. Mereka belajar di situ atas tanggungan ulama-ulama Syiah setempat yang mendapat biaya untuk itu lewat uang zakat dan khumus.
Di Indonesia sendiri, pada tanggal 21 Juni 1976, berdiri Yayasan Pesantren Islam Bangil atau sering disebut YAPI Bangil. Lembaga ini didirikan oleh Husein al-Habsyi (1921—1994) yang pernah belajar kepada Abdul Qadir Balfaqih, Muhammad Rabah Hassuna, Alwi bin Thahir al-Haddad, dan Muhammad Muntasir al-Kattani di Malaysia. Pesantren YAPI Bangil pun kemudian dikenal sebagai lembaga pendidikan Syiah tertua di Indonesia. Sudah sejak Husein al-Habsyi masih hidup, para santri di pesantren itu diajarkan secara khusus akidah Syiah. Untuk mengimbangi pelajaran fikih berdasarkan mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali, mereka diberikan juga pelajaran tentang fikih Syiah. Bisa dikatakan, santri-santri Pesantren YAPI Bangil yang kemudian banyak berdakwah di berbagai tempat di Indonesia.
Gelombang Kedua
Gelombang kedua penyebaran Syiah di Indonesia dimulai setelah Revolusi Iran meletus. Pada gelombang kali ini, banyak orang yang menjadi Syiah karena didorong intelektualitas mereka. Konversi menjadi Syiah pun banyak terjadi di tengah kalangan mahasiswa dan dosen. Salah seorang staf Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) waktu itu, Nabhan Husain, pernah mengatakan bahwa dakwah kampus yang sedang marak-maraknya pada 1970-an dan 1980-an mendorong banyak mahasiswa tertarik mempelajari pemikiranpemikiran Syiah.
Mereka tertarik karena keberhasilan Revolusi Iran, kepemimpinan revolusioner Khomeini, dan ideologi yang mendorong terjadinya revolusi itu. Selain itu, dan inilah yang jadi poin penting, dibanding dengan ajaran Islam yang tidak dapat dilepas dari wahyu, Syiah menawarkan cara berpikir yang rasional dan kritis. Bagi mahasiswa-mahasiswa tersebut, Syiah adalah sebuah alternatif terhadap isme-isme yang berkembang dewasa itu. Seperti diketahui bersama, dunia di 1970-an dan 1980-an menyaksikan persaingan sengit antara liberalisme dan komunisme, antara Blok Barat yang dipimpin Amerika Serikat dan Blok Timur yang dipimpin Uni Soviet. Segera setelah Revolusi Iran diketahui keberhasilannya, tulisan-tulisan tentang Iran, pemikiran-pemikiran intelektual Iran, dan ulama-ulama Syiah Iran membanjiri toko-toko buku di Indonesia.
Demikian pula dengan ulasan-ulasan tentang Revolusi Iran, Khomeini, dan filsafat Syiah yang ditulis oleh orang-orang Indonesia.
Di Bandung, Haidar Bagir, Ali Abdullah, dan Zainal Abidin yang baru lulus dari ITB mendirikan Penerbit Mizan pada tanggal 7 Maret 1983. Pada kali pertama, penerbit ini menerbitkan 2.000—3.000 eksemplar buku Dialog Sunni-Syi’ah: Surat-Menyurat antara asy-Syaikh al-Misyri al-Maliki, Rektor al-Azhar di Kairo Mesir dan as-Sayyid Syarafuddin al-Musawi al-‘Amili Seorang Ulama Besar Syiah yang mengundang banyak perhatian waktu itu. Buku tersebut sejatinya adalah terjemahan al-Muraja’at yang disusun oleh Syarafuddin al-Musawi al-‘Amili. Penerjemahnya adalah Muhammad al- Bagir al-Habsyi, ayah Haidar Bagir yang dikenal sebagai tokoh pembela Syiah. Muhammad Bagir kemudian banyak menerjemahkan buku-buku untuk Mizan. Mizan akhirnya banyak berperan menerbitkan buku-buku tentang pemikiran tokoh-tokoh Syiah pada 1980-an dan 1990-an.
Karena itu, masyarakat di Indonesia pun sempat menyebut Mizan sebagai penerbit Syiah terkemuka di Indonesia, sebelum kemudian menganggapnya sama seperti penerbit-penerbit buku umum lainnya sekarang ini. Pada saat bersamaan, di Bandung, Jalaluddin Rakhmat “tiba-tiba” tertarik kepada Syiah, setelah berdialog dan berdiskusi dengan ulama-ulama Syiah dan Husein al-Habsyi. Dari yang semula aktif berbicara tentang pemikiran Hasan al-Banna, Sayyid Quthub, dan Sa’id Hawwa, Jalaluddin Rakhmat kini mulai membicarakan akidah dan akhlak Syiah. Sudah bisa ditebak, ia pun diidentifikasi sebagai dai Syiah di Bandung dan kemudian dilarang berdakwah oleh MUI Kota Bandung pada 1985, menyusul keluarnya rekomendasi dari MUI Pusat untuk mewaspadai Syiah di tengah masyarakat. Tidak “jera” dengan larangan itu, Jalaluddin Rakhmat bersama Haidar
Bagir, Agus Effendy, Ahmad Tafsir, dan Ahmad Muhajir mendirikan Yayasan Muthahhari pada tanggal 3 Oktober 1988. Di bawah naungan yayasan itu, pada 1992, berdiri SMA Muthahhari yang oleh masyarakat waktu itu disebut sebagai sekolah modern milik Syiah yang pertama di kota kembang. Tidak lama dari berdirinya Yayasan Muthahhari, pada 1989, berdiri Pesantren al-Hadi di Pekalongan, Jawa Tengah. Pesantren ini didirikan oleh Ahmad Baragbah dan Hasan Musawa. Mereka terdorong oleh rasa prihatin mereka atas pandangan yang berkembang di masyarakat terhadap Syiah. Agar dapat meneruskan pendidikan ke jenjang lebih lanjut di Qum, Iran, sistem pendidikan Pesantren al-Hadi disesuaikan dengan sistem pendidikan yang ada di hawzahhawzah ilmiyah.
Gelombang Ketiga
Awal gelombang ketiga penyebaran Syiah tidak dapat dipastikan waktu tepatnya. Meski demikian, gelombang ketiga itu muncul ketika kebutuhan akan fikih Syiah makin mendesak. Hal ini wajar, sebab merebaknya pemikiranpemikiran Syiah di kalangan mahasiswa dan di kota-kota besar di Indonesia tidak diimbangi oleh menyebarnya tulisan-tulisan dan kajian-kajian tentang fikih Syiah. Ketika muncul seranganserangan mendiskreditkan Syiah karena memiliki praktik-praktik ibadah yang berbeda dengan Islam, mereka tidak siap menerimanya. Pada saat bersamaan, alumni-alumni Qumdar I Indonesia mulai kembali k e tanah air dan mendakwahkan Syiah.
Berbeda dengan mahasiswa-mahasiswa yang tertarik dengan Syiah, alumni-alumni Qum ini adalah tipikal orang-orang yang mempelajari sesuatu (dalam hal ini adalah ajaran Syiah) sampai ke dasar-dasarnya. Mereka lebih paham akan fikih-fikih Syiah dan yang paling penting: mereka lebih radikal dan frontal dalam menghadapi serangan-serangan kepada mereka. Gelombang ketiga terasa dengan banyak dibukanya pengajian-pengajian Syiah di berbagai tempat. Selain pengajian-pengajian, mereka juga mulai menerbitkan buku-buku Syiah yang “berbau” fikih. Bukan hanya buku-buku yang berisi pemikiran dan filsafat tokohtokoh Syiah.
Orang-orang yang tertarik dengan Syiah pun tidak lagi datang dari kalangan terbatas seperti mahasiwa dan lingkungan perguruan tinggi. Kali ini mereka jauh lebih beragam yang, dalam kata-kata Jalaluddin Rakhmat, “tidak begitu terpelajar.” Kemunculan alumni-alumni Qum juga diimbangi oleh berdirinya yayasanyayasan Syiah di berbagai kota di Indonesia. Pada 1995, diketahui ada 40 yayasan Syiah yang telah berdiri di Indonesia dan 25 di antaranya berada di Jakarta. Kemudian juga, sebuah jurnal di Jakarta pernah mendata orang-orang yang memeluk Syiah di Indonesia pada 1995 itu. Hasilnya, yang tentu saja masih bisa diperdebatkan, ada 2 0 .000 orang yang menjalani ajaran Syiah secara total. Turunnya Soeharto dari jabatan Presiden RI pada MeI 1998 membawa dampak yang tidak sedikit di tengah masyarakat. Jika pada masa pemerintahan Soeharto komunitas Syiah masih diawasi dan dikontrol dengan baik, maka sepeninggalnya, komunitas Syiah berkembang pesat dan menanam pengaruh yang tidak bisa diabaikan.
Bahkan, pada masa pemerintahan Presiden Gus Dur berdiri untuk pertama kalinya secara resmi organisasi massa (ormas) milik komunitas Syiah di Indonesia, Ikatan Ahlulbait Indonesia (IJABI). IJABI didirikan di Bandung pada tanggal 1 Juli 2000. Sebagai ormas, IJABI terdaftar resmi lewat Surat Keterangan No. 127 Tahun 2000/ D1 Departemen Dalam Negeri Repbulik Indonesia, Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat. Untuk menjabat Ketua Dewan Syura IJABI, dipilih Jalaluddin Rakhmat. Setelah itu, Dr. Dimitri Mahayana dipilih sebagai Ketua Dewan Tanfidziyah. Sebagai sebuah ormas Syiah, IJABI ternyata berkembang pesat di tengah masyarakat Indonesia. Sampai 2008 yang lalu, IJABI mengaku telah memiliki anggota sekitar 2,5 juta orang di 84 cabang dan 145 sub-cabang IJABI yang tersebar di 33 provinsi di Indonesia. Meski terkadang muncul penolakan dari sebagian masyarakat terhadap keberadaan mereka, IJABI mampu menangani semua itu dengan baik.
Sebaliknya, bersama Dewan Masjid Indonesia (DMI), IJABI memprakarsai pendirian Majelis Sunni Syiah Indonesia (MUHSIN) pada tanggal 20 Mei dan tanggal 17 Juli 2011 di Bandung. MUHSIN dimaksudkan sebagai forum dialog antara mereka dan orang-orang Islam, juga sebagai wadah bersama untuk menggalakkan kegiatan-kegiatan sosial bersama antara komunitas Sunni dan Syiah. Ke dalam MUHSIN itu, juga bergabung organisasi-organisasi non-Syiah, seperti PMII Cabang Kabupaten Bandung, Forum Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Bandung, Forum Studi UIN Bandung, Forum Kajian Damar Institut, Muslimat NU Jawa Barat, dan Forum Gus Dur Bandung. Bahkan, yang ditunjuk sebagai Pimpinan Pengurus MUHSIN Pusat yang pertama adalah Ketua Departemen Pemuda dan Remaja DMI Pusat, H. Daud Poliradja.
Perpecahan Komunitas Syiah di Indonesia
Meski telah memiliki ormas seperti itu, komunitas Syiah di Indonesia bukan tidak sepi dari perselisihan dan perpecahan. Hal ini, di antaranya, terkait isu kepemimpinan Syiah di Indonesia dan ini telah mencuat jauh-jauh hari sebelum adanya IJABI, tepatnya pada pertengahan 1990-an. Jalaluddin Rakhmat waktu itu mengakui adanya hal tersebut dan menganggapnya sebagai bagian dari gap antara generasi Syiah gelombang kedua dan generasi Syiah gelombang ketiga. Dalam sebuah wawancara dengan jurnal Ulumul Qur’an, ia pernah mengatakan, “Belakangan Sy’iah gelombang ketiga ini menganggap Syi’ah gelombang kedua itu sebagai bukan orang Syi’ah yang sebenarnya. Jadi kalau saya dimasukkan ke dalam gelombang kedua, maka mereka menganggap saya bukan Syi’ah. Dan di dalam wacana Syiah sendiri, internal Syi’ah sekarang ini terjadi serangan yang cukup kuat terhadap Syi’ah gelombang kedua itu. Boleh jadi karena mereka ingin menghadirkan dirinya sebagai pemimpin Syi’ah baru di Indonesia. Boleh jadi juga karena mereka meyakini asumsi-asumsi mereka bahwa orang seperti saya ini bukan Syi’ah, dengan definisi yang berbeda itu.”
Setelah IJABI berdiri, sikap seperti itu terus berkembang di Indonesia, terutama di kalangan pemeluk Syiah yang mengaku keturunan ahlul bait Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebagian mereka dan para pendukung mereka merasa bahwa kepemimpinan Syiah di Indonesia harus dipegang oleh ahlul bait. Karena itu, mereka dengan tegas menolak kepemimpinan Jalaluddin Rakhmat yang jelas-jelas bukan ahlul bait. Di antara mereka pun ada yang tidak mengakui kesyiahan—dan bahkan mengafirkan—Jalaluddin Rakhmat dan orang-orang IJABI. Wallahu ta’ala a’lam.
PENDIRI SYIAH
Peran yang ia mainkan telah menanamkan bibit kerusakan di kalangan orang-orang munafiqin dan orang-orang sukuisme serta orang-orang yang di dalam hatinya berakar hawa nafsu dan keinginan-keinginan buruk lainnya. Andullah bin Saba memperlihatkan keislamannya pada masa kekhilafahan Utsman. Dia juga mempertontonkan pribadi yang shalih, kemudian berusaha menjalin kedekatan dengan Ali.
SIAPAKAH ABDULLAH BIN SABA?
Jati diri Abdullah bin Saba diperselisihkan. Ada sebagian ulama tarikh yang menisbatkannya ke suku Himyar. Sementara Al-Qummi memasukkannya ke dalam suku Hamadan. Adapun Abdul Qahir al-Baghdadi menyebutnya berasal dari kabilah Al-Hirah. Sedangkan Ibnu Katsir berpendapat, Ibnu Saba berasal dari Rumawi. Tetapi Ath-Thabari dan Ibnu Asakir menyebutnya berasal dari negeri Yaman.
Perbedaan pendapat ini muncul lantaran keberadaan dirinya yang sengaja ia rahasiakan, sampai orang-orang yang sezaman dengannya pun tidak mengenalnya, baik nama maupun negeri asalnya. Sengaja ia sembunyikan identitas dirinya, karena ia memiliki rencana rahasia, yaitu ingin berbuat makar terhadap Islam. Dia tidaklah memeluk Islam, kecuali untuk mengelabui, karena ia ingin menggerogoti Islam dari dalam.
Salah satu bukti yang menunjukkan ia sengaja menutup diri, yaitu jawaban yang diberikan kepada Abdullah bin Amir. Tatkala ia ditanya oleh Abdullah bin Amir tentang asal usulnya, Abdullah bin Saba menjawab : “(Aku) adalah seorang lelaki dari ahli kitab yang ingin memeluk Islam, dan ingin berada disampingmu”.
MAKAR IBNU SABA
Abdullah bin Saba mengunjungi banyak negeri Islam. Dia berkeliling sambil menghasut kaum muslimin, agar ketaatan mereka kepada para penguasa meredup. Ia memulai dengan masuk negeri Hijaz, Bashrah, Kufah. Setelah itu menuju Damaskus. Namun di kota terakhir ini, ia tidak berkutik. Penduduknya mengusirnya dengan segera. Lantas Mesir menjadi tujuan selanjutnya dan ia menetap disana.
Sepak terjang Abdullah bin Saba sangat nyata terekam sejarah. Namun ada saja yang mengingkari keberadaannya, dan menganggap Ibnu Sauda hanyalah tokoh dongeng atau fiktif. Bahkan ada yang menganggapnya sebagai Ammar bin Yasir. Kalau pendapat itu keluar dari orang Syi’ah atau para orientalis, tentu hal yang lumrah. Akan tetapi, anehnya, di antara yang menetapkan demikian ini ternyata orang-orang yang mengaku beragama Islam.
CENDEKIAWAN MUSLIM YANG
MENGINGKARI KEBERADAAN ABDULLAH BIN SABA
Ada beberapa pemikir muslim yang menganggap bahwa Abdullah bin Saba hanyalah tokoh fiktif belaka, sehingga mereka mengingkari keberadaan Ibnu Saba. Di antara pemikir-pemikir tersebut ialah Dr Thaha Husain. Dia sangat dikenal sebagai corong orientalis. Pengingkarannya tentang keberadaan Ibnu Saba ini, ia tuangkan ke dalam tulisannya yang berjudul : Ali wa Banuhu dan Al-Fitnah Al-Kubra. Dalam tulisannya ini, ia benar-benar telah memenuhi otaknya dengan pemikiran orientalis, sampai-sampai ia mengatakan : “Aku berfikir dengan kerangka budaya Perancis dan menulisnya dengan bahasa Arab”.
Tentang Ibnu Saba (Ibnu Sauda), Dr Thaha Husain menyatakan, bahwa ihwal tentang Sabaiyyah dan perintisnya Ibnu Sauda, cerita tentang mereka hanyalah sekedar dipaksakan, dibuat skenarionya tatkala terjadi perdebatan atara Syi’ah dan golongan lainnya. Para seteru Syi’ah ingin memasukkan unsur Yahudi ke dalam prinsip keagamaan Syi’ah, sebagai usaha untuk lebih mantap dalam mematahkan dan mengganggu mereka …[3]
Selain Dr Thaha Husain, ada tokoh lain yang juga mengingkari adanya Abdullah bin Saba. Yaitu Dr Hamid Hafni Dawud, Dekan Jurusan Bahasa Arab Universitas Ain Syams. Dia seorang aktifis gerakan penyatuan Islam dengan Syi’ah. Sehingga tidak mengherankan jika ia berkata : “Sesungguhnya, cerita tentang Ibnu Saba (merupakan) salah satu dari kesalahan sejarah yang lolos dari penelitian para pakar sejarah dan menjadi sentral pemikiran mereka. Mereka itu sebenarnya tidak paham dan tidak mampu mencernanya. Ini adalah berita-berita buatan yang dipalsukan atas nama Syi’ah, sehingga mereka melekatkan kisah Abdullah bin Saba pada mereka (Syi’ah) dan menjadikannya sebagai cara untuk mendiskkreditkannya” [4]
Sederat nama berikut, memiliki pandangan yang sama. Mereka ialah : Muhammad bin Jawad Maghnia, Murtadha Al-Askari, Dr Ali Wardi, Dr Kamil Musthafa Asy-Syibi, Dr Abdullah Fayyad, Thalib Ar-Raifa’i. mereka adalah pemikir-pemikir yang mengingkari kebenaran adanya Ibnu Saba. Mereka menyatakan, Ibnu Saba adalah tokoh dongeng yang hakikatnya tidak ada dalam dunia nyata.
Secara khusus Dr Fayyadh mengatakan : “Terlihat dengan jelas bahwa Ibnu Saba tidak lebih hanya sekedar cerita tokoh fiktif belaka dalam dunia nyata. Sepak terjangnya kalau benar ia mempunyai andil terlalu dilebih-lebihkan lantaran berbagai motivasi agama dan politis. Dan bukti-bukti lemahnya cerita tentang Ibnu Saba sangat banyak” [5]
Sesungguhnya keberadaan Ibnu Saba ini tidak hanya ditulis dalam kitab-kitab ahli sunnah, bahkan juga direkam di dalam buku-buk Syi’ah.
Walaupun ada ulama Syi’ah sekarang ini mengingkarinya, lantaran telah mengetahui kebobrokan aqidah Ibnu Saba yang sudah banyak menyelinap di berbagai pecahan kelompok Syi’ah.
Diantara kitab-kitab karya ulama Syi’ah yang mengungkap keberadaan Abdullah bin Saba ialah kitab Risalah Al-Irja (karya Al-Hasan bin Muhammad bin Al-Hanafiyah), Al-Gharat (Abu Ishaq Ibrahim bin Muhamamd Sa’id Al-Asfahani), Al-Maqalatu wal Firaq (Sa’ad bin Abdillah Al-Qummi), Firaqu Asy-Syi’ah (Muhammad Al-Hasan bin Musa An-Nubakhti) Rijalu Al-Kisysyi (Abu Amr Muhammad bin Umar Al-Kisysyi), Rijalu Ath-Thusi (Abu Ja’far Muhammad bin Al-Hasan Ath-Thusi), Syarah Ibni Abil Hadid li Nahji Al-Balaghah (Izzudin Abu Hamid Abdul Hamid bin Hibatullah yang lebih popular dengan sebutan Ibnu Abil Hadid Al-Mu’tazili Asy-Syi’i, Ar-Rijal (Al-Hasan bin Yusuf Al-Hilli), Raudhatul Jannat (Muhammad Baqir Khawansari), Tanqihul Maqal fi Ahwali ar-Rijal (Abdullah Al-Mamqani), Qamusu Ar-Rijal (Muhammad Taqiyyi At-Tustari), Raudhatush Shafa, sebuah buku sejarah tentang Syi’ah yang ditulis dengan bahasa Parsi. Ini sebagian buku-buku Syi’ah yang meyinggungnya.
Demikian pandangan tokoh-tokoh yang menyatakan Abdullah bin Saba sekedar tokoh fiktif. Seolah-olah mereka tidak melupakan kitab-kitab Ahli Sunnah yang dipercaya. Demikian juga, seolah-olah mereka buta terhadap referensi-referensi kitab Syi’ah yang menjadi rujukan, yang mengandung kisah tentang Ibnu Saba, aqidah dan klaim-klaimnya yang didustakan oleh Ali, Ahlul Bait serta berlepas diri dari mereka.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun IX/1426H/2005. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
__________
Foote Note
[1]. Kitab tentang studi kritis perawi hadits
[2]. Badzlul Majhud fi Itsbati Musyabahati Ar-Rafidhah Lil Yahud karya Abdullah Al-Jumaily Maktabah Al-ghuraba Al-Atsaiyyah Madinah Munawwarah cet. III Thn.1419H/1999M
[3]. Ali wa Banuhu, karya Dr Thaha Husain, dinukil dari kitab Ibnu Saba Haqiatun La Khayal, karya Dr Sa’di Al-Hasyimi
[4]. At-Tasyayu Zhahiratun Thabi’iyyah fi Ithari Ad-Da’wah Al-Islamiyyah, hal. 18 dinukil dari kitab Ibnu Saba Haqiatun La Khayal, karya Dr Sa’di Al-Hasyimi
[5]. Tarikhul Imamiyyah wa Aslafahim Minsy Syi’ah, hal.92-100
TOKOH – TOKOH SYIAH DI INDONESIA
Beberapa
saudara muslim sudah ada yang mengenali dan mewaspadai beberapa tokoh syi’ah
berikut ini. Namun mayoritas muslim belum, lantaran ada pengaburan dan
tipu-tipu yang dilakukan oleh tokoh-tokoh ini. Mereka para tokoh syi’ah adalah
orang-orang yang tampil di permukaan.
Menurut
ustadz Farid Ahmad Okbah MA, Direktur Pesantren Al-Islam: “Mereka yang ada di
organisasi-organisasi syi’ah seperti ABI, IJABI dan lain-lain tidak melakukan
taqiyah (berdusta untuk menyembunyikan keyakinan syi’ahnya).”
Saat
ini mereka semakin berani dengan mulutnya mengatakan dirinya syi’ah, demikian
pula dalam bentuk dukungan fisik material dan mental spiritual terhadap
pengikutnya. Seperti terekam dalam kehadiran tokoh-tokoh ini di tempat
pengungsi syi’ah Sampang, Madura, sebagai bentuk dukungan terhadap mereka.
Berikut ini adalah tokoh-tokoh tersebut:
1. Jalaludin Rahmat
Seorang
yang pada tahun akhir 1980-an dikenal sebagai pakar komunikasi. Sampai saat ini
dia adalah pengajar di Universitas Padjajaran (Unpad) Bandung. Dia
disebut-sebut sebagai tokoh sentral syi’ah Indonesia. Ternyata ini bukan isapan
jempol bila dilihat dari kiprahnya dan dan sepak terjangnya pada organisasi
syi’ah di Indonesia.
Pendiri
dan pimpinan SMA Muthahhari, Bandung ini juga menjadi pendiri Islamic Cultural
Center (ICC) Jakarta bersama Dr. Haidar Bagir. Jalaludin Rahmat kini menjabat
sebagi Ketua Dewan Syura Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI) yang kini
sudah mempunyai hampir 100 Pengurus Daerah (tingkat kota) di seluruh Indonesia
dengan jumlah anggota sekitar 2,5 juta orang.
Selain
itu ia mendirikan Pusat Kajian Tasawuf (PKT): Tazkia Sejati, OASE-Bayt Aqila,
Islamic College for Advanced Studies (ICAS-Paramadina), Islamic Cultural Center
(ICC) di Jakarta, PKT Misykat di Bandung. Semua lembaga-lembaga tersebut adalah
organisasi syi’ah. Bisa dilihat pada buku Fakta dan Data Perkembangan Syi’ah
di Indonesia September 2012, karya ustadz Farid Ahmad Okbah MA.
Adapun
pernyataan Kang Jalal, begitu dia biasa dipanggil yang mendukung syi’ah yakni
pada 29 Agustus 2012 lalu, dia mengancam untuk menumpahkan darah Ahlus Sunnah
di Nusantara atas bentrokan Sampang Madura. “Orang-orang Syiah tidak akan
membiarkan kekerasan ini. Karena untuk pengikut Syiah, mengucurkan darah bagi
Imam Husein adalah sebuah kemuliaan,” ujar Jalaluddin
2. Dina Y. Sulaeman
Perempuan
yang lahir di Semarang pada 30 Juli 1974. Penerima summer session scholarship
dari JAL Foundation untuk kuliah musim panas di Sophia University Tokyo ini
lulus dari Fak. Sastra Arab Universitas Padjdjaran tahun 1997. Ia sempat
menjadi staf pengajar di IAIN Imam Bonjol Padang.
Tahun
1999 meraih beasiswa S2 dari pemerintah Iran untuk belajar di Faculty of
Teology, Tehran University. Tahun 2011, ia menyelesaikan studi magister
Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran. Tahun 2002-2007 ia berkarir
sebagai jurnalis di Islamic Republic of Iran Broadcasting.
Dina
penulis yang produktif, banyak masyarakat yang tidak mengetahui bahwa dia
adalah seorang syiah sejati. Berikut ini sejumlah buku yang telah ditulisnya,
antara lain, Oh Baby Blues, Mukjizat Abad 20: Doktor Cilik Hafal dan
Paham Al Quran, Pelangi di Persia, Ahmadinejad on Palestine, Obama
Revealed, Bintang-Bintang Penerus Doktor Cilik, Princess Nadeera,
Prahara Suriah dan Journey to Iran.
Aktif
menulis artikel opini politik Timur Tengah yang dimuat di media massa dan
berbagai website. Otong Sualeman suami Dina, juga syiah, dia adalah
mahasiswa Qom yang menulis novel Dari Jendela Hauzah, terbitan grup Mizan.
Keduanya pernah bekerja sebagai jurnalis di IRIB (Radio Iran Indonesia) selama
tujuh tahun di Iran.
3. Haidar Bagir
Haidar
Bagir bersama Jalaluddin Rakhmat, mendirikan Yayasan Muthahhari, yang mengelola
SMA (Plus) Muthahhari di Bandung dan Jakarta.
Haidar
Bagir merupakan pendiri perusahaan Penerbit Mizan. Oleh karena itu, perlu
diwaspadai buku-buku terbitan Mizan tentang persoalan Syiah dan Ahlus Sunnah.
Demikian juga ia pernah bekerja di surat kabar Republika, sehingga sampai
sekarang pengaruhnya terhadap pemberitaan Syi’ah masih menyudutkan Ahlus
Sunnah, membela Iran dan sekutu-sekutu Syi’ahnya, dan melakukan taqiyah dalam
pemberitaannya.
Haidar
Bagir lahir di Solo, 20 Februari 1957 ini adalah alumnus Teknologi Industri ITB
1982 dan mengenyam pendidikan pasca sarjana di Pusat Studi Timur Tengah Harvard
University, AS 1990-1992, dan S-3 Jurusan Filsafat Universitas Indonesia (UI)
dengan riset selama setahun (2000 – 2001) di Departemen Sejarah dan Filsafat
Sains, Indiana University, Bloomington, AS. Sejak awal 2003, dia mendapat
kepercayaan sebagai Ketua Yayasan Madina Ilmu yang mengelola Sekolah Tinggi
Madina Ilmu yang berlokasi di Depok.
Di
antara pengalaman pekerjaan lainnya, menjadi direktur utama GUIDE (Gudwah
Islamic Digital Edutainment) Jakarta, ketua Pusat Kajian Tasawuf Positif IIMaN,
Ketua Badan Pendiri YASMIN (Yayasan Imdad Mustadh’afin), staf pengajar Jurusan
Filsafat Universitas Madina Ilmu (1998), staf pengajar Jurusan Filsafat
Universitas Indonesia (1996), dan staf pengajar Jurusan Filsafat Universitas
Paramadina Mulya, Jakarta (1997).
4. DR. Khalid Al Walid, MA
Ketua
Majelis Ulama Indonesia Pusat KH. Cholil Ridwan, menjelaskan bahwa
organisasinya melakukan evaluasi atas dugaan adanya seorang tokoh Syiah dalam
kepengurusan MUI pusat. Hal ini mengemuka setelah tokoh tersebut datang ke
Sampang atas nama MUI pusat, mendesak dicabutnya fatwa sesat Syiah dari MUI
Jatim.
Pengurus
MUI yang terindikasi sebagai penganut Syiah adalah DR. Khalid Al-Walid. Ia
adalah alumnus dari Hawzah Ilmiah Qom, yang judul desertasinya di UIN Syarif
Hidayatullah adalah “Pandangan Eskatologi Mulla Shadra”.
Saat
disertasinya diuji oleh tim penguji dari UIN Syarif Hidayatullah, Prof. DR.
Azyumardi Azra pada Tahun 2008 lalu. Tiba di bagian akhir acara, Azyumardi
bertanya, “Apakah Anda penganut mazhab Syi’ah? Jangan salah duga”. Tanyanya.
“Saya
akan bangga bila UIN berhasil meluluskan seorang doktor Syiah, karena menjadi
bukti nyata bahwa lembaga ini menjunjung tinggi pluralisme dan toleransi antar
mazhab Islam,” lanjut Direktur Pascasarjana UIN tersebut.
Khalid
Al Walid saat itu menjawab, “Eh… Saya sama dengan Pak Haidar,” jawabnya
berdiplomasi seraya menunjuk DR. Haidar Bagir yang duduk di samping Prof. DR.
Mulyadhi Kartanegara yang menjadi pembimbing disertasi Khalid Al Walid.
Sebagaimana diketahui, Haidar Bagir adalah tokoh Syiah di Indonesia dan selalu
membela berbagai kepentingan Syiah.
Selain
itu, DR Khalid Al Walid juga menjabat sebagi dewan syuro Ahlul Bait
Indonesia (ABI), ormas lokomotif kelompok syiah di Indonesia.
Dalam
daftar pengurus MUI yang tercantum dalam situs resminya, tercantum nama Dr. H.
Khalid al-Walid, M.Ag yang menjabat sebagai Wakil Ketua Komisi Ukhuwah Islamiyah
MUI Pusat.
5. Muhsin Labib
Labib
adalah Dosen Filsafat di UIN Syarif Hidayatullah yang merupakan lulusan Muhsin
Qum Iran. Ia menulis banyak buku tentang Syiah dan menjadi pembela Syi’ah
Imamiyah di berbagai kesempatan.
Di
antara buku-bukunya adalah Ahmadinejad: David di Tengah Angkara Goliath,
Husain Sang Ksatria Langit, Kamus Shalat, Gelegar Gaza, Primbon Islam, Goodbye
Bush,dan lainnya.
Muhsin
Labib pernah mengatakan, “Orang yang anti Syiah adalah orang yang esktrimis dan
menjadi ancaman bagi negara Republik Indonesia.”
6. Penyanyi Haddad Alwi
Dia
adalah penyanyi yang cukup terkenal yang biasa berduet dengan biduanita Sulis.
Salah satu lagunya yang berjudul Ya Thoybah, diubah liriknya dalam
bahasa Arab dan berisi pujian pada Ali bin Abi Thalib secara berlebihan.
Hadad
Alwi turut mengunjungi korban konflik sosial syiah di Sampang Madura 29
September 2012. Dia memberi motifasi dan dukungan kepada para pengungsi syiah.
Sementara,
kalau nyanyiannya itu seperti Ya Thoybah, tidak mudah diidentifikasi oleh orang
awam kebanyakan, sehingga orang tidak mudah untuk menyalahkannya. Karena dia
berbahasa Arab, menyebut nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
sahabat Ali radhiyallahu ‘anhu menyebut Al-Quran dan sebagainya. Padahal,
nyanyian Ya Thoybah itu justru isinya berbahaya bagi Islam, karena
ghuluw (berlebih-lebihan) dalam memuji Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu.
Berikut
ini kutipan bait yang ghuluw dari nyanyian Ya Thoybah (wahai Sang
Penawar): Ya ‘Aliyya bna Abii Thoolib Minkum mashdarul mawaahib. Artinya:
“Wahai Ali bin Abi Thalib, darimulah sumber keutamaan-keutamaan
(anugerah-anugerah atau bakat-bakat).”
-
See more at:
http://www.arrahmah.com/kajian-islam/kenali-dan-waspadai-tokoh-tokoh-syiah-indonesia-ini-dari-penyanyi-hingga-anggota-mui-pusat.html#sthash.ygQ7jGin.dpuf
PENDAPAT – PENDAPAT ULAMA & INTELEKTUAL MUSLIM INDONESIA TENTANG SYIAH
Ø Prof.
Dr. Umar Shihab (Ketua MUI Pusat): “Syiah bukan ajaran sesat, baik Sunni maupun
Syiah tetap diakui Konferensi Ulama Islam International sebagai bagian dari
Islam.” (rakyatmerdekaonline.com)
Ø KH.
Said Agil Siradj (Ketua Umum PB NU) : “Ajaran Syiah tidak sesat dan termasuk
Islam seperti halnya Sunni. Di universitas di dunia manapun tidak ada yang
menganggap Syiah sesat.“ (tempo.co)
Ø Prof
Dr.Din Syamsuddin (Ketua Umum PP Muhammadiyah): “Tidak ada beda Sunni dan
Syiah. Dialog merupakan jalan yang paling baik dan tepat, guna mengatasi
perbedaan aliran dalam keluarga besar sesama muslim.” (republika.co.id)
Ø KH.
Abdurahman Wahid (gus Dur) : “Syiah itu adalah NU plus imamah dan NU itu adalah
Syiah minus imamah”.
Ø Prof.
Dr. Amin Rais (Mantan Ketua PP Muhammadiyah/Ketua MPR RI ): “Sunnah dan Syiah
adalah mazhab-mazhab yang legitimate dan sah saja dalam
Islam.“(satuislam.wordpress.com)
Ø Prof.
Dr. Komaruddin Hidayat (Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta): “Syiah
merupakan bagian dari sejarah Islam dalam perebutan kekuasaan, dari masa
sahabat, karenanya akidahnya sama, Alqurannya, dan nabinya juga sama.”
(republika.co.id)
Ø Prof.
Dr.Syafi’i Ma’arif (Cendikiawan Muslim, Mantan Ketua PP Muhammadiyah): “Kalau
Syiah di kalangan mazhab, dianggap sebagai mazhab kelima.” (okezone.com)
Ø Marzuki
Alie (Ketua DPR RI): “Syiah itu mazhab yang diterima di negara manapun di
seluruh dunia, dan tidak ada satupun negara yang menegaskan bahwa Islam Syiah
adalah aliran sesat.“ (okezone.com)
Ø KH
Nur Iskandar Sq (Ketua Dewan Syuro PPP): “Kami sangat menghargai kaum Muslimin
Syiah.” (inilah.com)
Ø KH.
Alie Yafie (Ulama Besar Indonesia): Dengan tergabungnya Iran yang mayoritas
bermazhab Syiah sebagai negara Islam dalam wadah OKI, berarti Iran diakui
sebagai bagian dari Islam. Itu sudah cukup. Yang jelas, kenyataannya seluruh
dunia Islam, yang tergabung dalam 60 negara menerima Iran sebagai negara Islam
(tempointeraktif)
PERTANYAAN:
JIKA
TOKOH-TOKOH INDONESIA MENGANGGAP SYIAH MUSLIM DAN SAUDARA MEREKA, MAKA SIAPAKAH
ORANG-ORANG TAKFIRIYAH (KELOMPOK PENGKAFIRAN) YANG MEMUSUHI SYIAH INI??
CORAK PEMIKIRAN SYIAH
Asas
pemikiran Syiah dan seluruh sumber maʻārif (jamak bagi
perkataan pengetahuan) Syiah adalah al-Qur'an. Syiah melihat seluruh zahir
ayat-ayat Al-Qur’an, perilaku dan perbuatan, bahkan diamnya Nabi (s.a.w)
sebagai hujjah. Selanjutnya Syiah juga memandang ucapan, perilaku dan diamnya
para Imam Maksum juga sebagai hujjah. Di samping al-Qur'an menjelaskan hujjiyah
(argumentatif) melalui logik akal, al-Qur'an juga menyokong jalan mukasyafah
(penyingkapan) dan syuhūd
(penyaksian) untuk meraup berbagai pengetahuan dan makrifat.
Asas pemikiran seperti ini dapat dirumuskan dengan beberapa perkara di bawah ini:
Asas pemikiran seperti ini dapat dirumuskan dengan beberapa perkara di bawah ini:
- Keyakinan
terhadap keesaan Allah (s.w.t) dan kesucian-Nya dari segala kekurangan,
serta seluruh sifat-Nya dihiasi dengan kesempurnaan.
- Keyakinan
terhadap ḥusn
dan qubḥ
ʻaqlī (kebaikan dan keburukan yang
ditimbang dalam pandangan akal) dan sesungguhnya akal memahami bahawa
Allah (s.w.t) tidak akan mengerjakan perbuatan-perbuatan tercela dan
buruk.
- Keyakinan
terhadap kemaksuman pada para nabi Ilahi dan Rasulullah (s.a.w) selaku
penutup kenabian.
- Keyakinan
bahawa hanya Allah yang mengangkat khalifah Rasulullah melalui Nabi
(s.a.w) atau imam sebelumnya. Jumlah khalifah Rasulullah (s.a.w) pula
adalah dua belas orang di mana yang pertama adalah Ali bin Abi Thalib dan
yang terakhir adalah Imam Mahdi (a.j.f) yang kini hidup dan menantikan
perintah Ilahi (bagi kemunculannya).
- Keyakinan
terhadap kehidupan setelah kematian dan sesungguhnya manusia akan
mendapatkan ganjaran atau balasan atas segala perbuatan yang dilakukannya
di dunia.
- Sumber
pertama mazhab Syiah dalam meraih pengetahuan
Sumber
pertama yang dijadikan sandaran oleh mazhab Syiah adalah al-Qur'an. Al-Qur'an
merupakan keterangan dan bukti pasti tentang kenabian Rasulullah (s.a.w) secara
umum dan abadi. Kandungan-kandungannya adalah seruan kepada Islam. Namun
menjadikan Qur'an sebagai sumber pertama tidak bermakna menafikan sumber-sumber
dan hujjah-hujjah yang lain. Kecuali sebagaimana yang akan kami jelaskan bahawa
al-Qur'an sendiri menjelaskan sumber-sumber yang lain.
- Jalan-jalan
yang diperkenalkan al-Qur'an untuk pemikiran Mazhab
Menerusi
ajaran-ajaran Al-Qur'an, jelaslah terdapat tiga jalan bagi kaum Muslimin untuk
sampai dan mengamati matlamat-matlamat agama dan maʻārif
Islam
- Hal-hal
Lahir pada Agama
Kita
melihat penjelasan-penjelasan al-Qur'an menjadikan seluruh manusia sebagai
objek pembicaraan. Kadang-kadang al-Qur'an tidak menggunakan argumentasi dalam
penyampaiannya dan hanya bersandar pada firman-firman Allah (s.w.t) untuk
mengajak manusia menerima asas-asas agama: seperti tauhid, kenabian, ma'ād.
Begitu juga dengan hukum-hukum praktikal seperti perintah solat, puasa dan
sebagainya, begitu juga larangan sebahagian perbuatan. Sekiranya
penjelasan-penjelasan ayat al-Qur'an ini tidak dipandang sebagai hujjah maka
sudah tentu al-Qur'an tidak sekali-kali meminta manusia untuk menerima dan
mentaati seruan-seruannya.
Namun oleh kerana hal-hal zahir pada agama tidak terbatas pada ayat-ayat al-Qur'an, bahkan penjelasan-penjelasan, perbuatan dan diamnya (taqrir) Rasulullah (s.a.w) berdasarkan pada ayat-ayat zahir al-Qur'an itu dapat dipandang sebagai hujjah. "Laqad kāna lakum fī RasuliLlah uswatun Ḥasanaḥ." (Sesungguhnya pada diri Rasulullah terdapat teladan, Surah Al-Ahzab [33]:21)
Demikian juga melalui riwayat mutawatir daripada Rasulullah (s.a.w) yang menegaskan bahawa ucapan, perbuatan dan diamnya Ahlulbaitnya (para Imam Maksum a.s) adalah seperti ucapan, perbuatan dan ikrar Rasulullah (s.a.w) sendiri.
Mengenai hadis-hadis yang dinukil daripada sahabat pula, selagi sesuai dengan ucapan atau perbuatan Nabi (s.a.w) dan tidak bertentangan dengan hadis Ahlulbait, maka hadis-hadis tersebut dapat diterima. Tetapi apabila hadis yang memuatkan pendapat peribadi sahabat tidak dapat dijadikan sebagai hujjah dan hukum yang dikeluarkan oleh sahabat adalah seperti hukum biasa yang dikeluarkan kaum Muslimin secara umum. Hal yang dapat dijadikan bukti bagi kita ialah sahabat sendiri melakukan perbuatan seperti ini bersama sahabat yang lain.
Namun oleh kerana hal-hal zahir pada agama tidak terbatas pada ayat-ayat al-Qur'an, bahkan penjelasan-penjelasan, perbuatan dan diamnya (taqrir) Rasulullah (s.a.w) berdasarkan pada ayat-ayat zahir al-Qur'an itu dapat dipandang sebagai hujjah. "Laqad kāna lakum fī RasuliLlah uswatun Ḥasanaḥ." (Sesungguhnya pada diri Rasulullah terdapat teladan, Surah Al-Ahzab [33]:21)
Demikian juga melalui riwayat mutawatir daripada Rasulullah (s.a.w) yang menegaskan bahawa ucapan, perbuatan dan diamnya Ahlulbaitnya (para Imam Maksum a.s) adalah seperti ucapan, perbuatan dan ikrar Rasulullah (s.a.w) sendiri.
Mengenai hadis-hadis yang dinukil daripada sahabat pula, selagi sesuai dengan ucapan atau perbuatan Nabi (s.a.w) dan tidak bertentangan dengan hadis Ahlulbait, maka hadis-hadis tersebut dapat diterima. Tetapi apabila hadis yang memuatkan pendapat peribadi sahabat tidak dapat dijadikan sebagai hujjah dan hukum yang dikeluarkan oleh sahabat adalah seperti hukum biasa yang dikeluarkan kaum Muslimin secara umum. Hal yang dapat dijadikan bukti bagi kita ialah sahabat sendiri melakukan perbuatan seperti ini bersama sahabat yang lain.
- Pendalilan
akal
Kebanyakan
ayat-ayat Al-Qur'an menyatakan manusia harus dibimbing kepada rasional dan
menyeru manusia untuk berfikir, berintelektual, merenungi ayat-ayat āfāq
dan anfus. Al-Qur'an sendiri melakukan pendalilan rasional untuk menyingkap
berbagai realiti dan hakikat. Al-Qur'an tidak berkata bahawa pertamanya
hendaklah menerima kebenaran maʻārif
Islam. Kemudian barulah menggunakan pendalilan dan menarik kesimpulan daripada
argumen rasional yang diteliti serta maʻārif
yang disebutkan. Bahkan kepercayaan yang benar-benar sempurna pada realiti
menyatakan: “Usunglah argumen dan dari situ engkau akan menemukan dan menerima
kebenaran maʻārif yang disebutkan”.
Bukannya pertama berimanlah kemudian menyesuaikan dan melaraskannya dengan al-Qur'an
barulah mengusung argumentasi serta dalil.
Argumentasi-argumentasi dan rasional akal yang digunakan manusia dengan fitrah untuk menetapkan dan membuktikan pandangan-pandangannya terdiri dari dua bahagian: Pertama, burhan (argumen) dan kedua jadāl (dialektik).
"Burhān" adalah argumen yang bersandar pada fakta dan realiti. Dengan kata lain, hal-hal yang dibangunnya dapat diterima dan dibenarkan oleh akal yang dianugerahkan Tuhan kepadanya. Sebagaimana kita ketahui bahawa bilangan tiga lebih kecil dari bilangan empat. Pemikiran seperti ini adalah pemikiran rasional. Apabila dipraktikkan pada hal-hal universal yang berkaitan dengan alam semesta seperti pemikiran tentang awal penciptaan, penghujung alam semesta dan penghuninya maka pemikiran seperti ini disebut sebagai pemikiran falsafah.
"Jadāl" (dialektik) adalah sebuah argumen yang diambil dari seluruh atau sebahagian hal-hal yang popular (mashhūrāt) atau yang diterima secara umum (musallamāt). Sebagaimana hal ini digunakan oleh pemeluk agama-agama dan penganut mazhab-mazhab secara umum untuk membuat ketetapan pandangan-pandangan mazhabnya dengan kaedah-kaedah yang diterima secara umum. Al-Qur'an menggunakan kedua-dua jalan ini dan banyak ayat-ayat al-Qur'an yang menyebutkannya.
Pertama, al-Qur'an memerintahkan manusia untuk berfikir secara bebas mengenai perkara-perkara universal alam semesta, pengaturan seluruh semesta dan pengaturan khusus seperti langit, bintang, kitaran siang dan malam, bumi, tumbuh-tumbuhan, haiwan dan manusia. Al-Qur'an memuji penjelasan yang sangat diterima oleh akal.
Kedua, al-Qur'an memerintahkan manusia untuk berfikir dialektik yang umumnya disebut sebagai perbahasan teologi, dengan syarat ianya dilakukan dengan sebaik-baik model (untuk menyatakan kebenaran dengan baik tanpa disertai sikap keras kepala).
Syiah terkedepan dalam pemikiran falsafah dan teologi Islam
Argumentasi-argumentasi dan rasional akal yang digunakan manusia dengan fitrah untuk menetapkan dan membuktikan pandangan-pandangannya terdiri dari dua bahagian: Pertama, burhan (argumen) dan kedua jadāl (dialektik).
"Burhān" adalah argumen yang bersandar pada fakta dan realiti. Dengan kata lain, hal-hal yang dibangunnya dapat diterima dan dibenarkan oleh akal yang dianugerahkan Tuhan kepadanya. Sebagaimana kita ketahui bahawa bilangan tiga lebih kecil dari bilangan empat. Pemikiran seperti ini adalah pemikiran rasional. Apabila dipraktikkan pada hal-hal universal yang berkaitan dengan alam semesta seperti pemikiran tentang awal penciptaan, penghujung alam semesta dan penghuninya maka pemikiran seperti ini disebut sebagai pemikiran falsafah.
"Jadāl" (dialektik) adalah sebuah argumen yang diambil dari seluruh atau sebahagian hal-hal yang popular (mashhūrāt) atau yang diterima secara umum (musallamāt). Sebagaimana hal ini digunakan oleh pemeluk agama-agama dan penganut mazhab-mazhab secara umum untuk membuat ketetapan pandangan-pandangan mazhabnya dengan kaedah-kaedah yang diterima secara umum. Al-Qur'an menggunakan kedua-dua jalan ini dan banyak ayat-ayat al-Qur'an yang menyebutkannya.
Pertama, al-Qur'an memerintahkan manusia untuk berfikir secara bebas mengenai perkara-perkara universal alam semesta, pengaturan seluruh semesta dan pengaturan khusus seperti langit, bintang, kitaran siang dan malam, bumi, tumbuh-tumbuhan, haiwan dan manusia. Al-Qur'an memuji penjelasan yang sangat diterima oleh akal.
Kedua, al-Qur'an memerintahkan manusia untuk berfikir dialektik yang umumnya disebut sebagai perbahasan teologi, dengan syarat ianya dilakukan dengan sebaik-baik model (untuk menyatakan kebenaran dengan baik tanpa disertai sikap keras kepala).
Syiah terkedepan dalam pemikiran falsafah dan teologi Islam
Orang yang akrab dengan perbuatan-perbuatan sahabat Rasulullah (s.a.w), dapat mengetahui dengan baik bahawa di antara tinggalan para sahabat yang berada di tangan kaum Muslimin hari ini tidak ada satu pun warisan yang tergolong sebagai pemikiran falsafah. Namun dengan mudah kita menemui pernyataan-pernyataan menarik Amirul Mukminin mengenai teologi dengan penerangan pemikiran falsafah yang amat mendalam.
Para sahabat, tabi'in dan orang-orang Arab pada masa itu tidak seorang pun yang mengenal pemikiran falsafah yang bebas. Tidak satu pun contoh falsafah menarik yang ditemui daripada ucapan-ucapan ulama yang hidup di dua abad pertama Hijrah. Satu-satunya penjelasan falsafah yang mendalam hanya dapat ditemui pada imam-imam Syiah, terutamanya Imam pertama dan Imam ke-lapan Syiah di mana mereka ini memiliki khazanah pemikiran-pemikiran falsafah yang tidak terhad. Mereka jua yang memperkenalkan pemikiran-pemikiran falsafah ini kepada sekelompok murid mereka.
Walaupun pemikiran falsafah menjadi masyhur pada awal-awal abad ketiga Hijrah seiring dengan penerjemahan kitab-kitab falsafah Yunani di kalangan kaum Muslimin, namun di kalangan majoriti Ahlusunnah tidak bertahan lama hingga abad ketujuh, setelah kewafatan Ibnu Rusyd Al-Andalusia, falsafah juga mengalami nasib yang sama. Tidak sama dengan apa yang terjadi dikalangan Syiah, falsafah tidak pernah berakhir sedetikpun. Faktor yang paling berpengaruh dalam proses pemeliharaan model pemikiran ini di kalangan Syiah adalah khazanah ilmu yang diwarisi oleh para Imam Syiah. Untuk menjelaskan masalah ini cukuplah kita membandingkan khazanah keilmuan Ahlulbait dengan kitab-kitab falsafah yang ditulis sepanjang perjalanan sejarah; Ini disebabkan kita akan mendapati dengan jelas bahawa hari demi hari falsafah semakin dekat dengan khazanah ilmu tersebut sehingga abad kesebelas Hijriah, di mana ianya selaras antara satu sama lain dan tidak ada lagi rintangan jarak kecuali pada ungkapan-ungkapan dan masalah redaksi sahaja.
- Penyingkapan
(mukāshafah)
dan Penyaksian (syuhūd)
Al-Qur'an
memberikan penerangan yang menarik tentang seluruh maʻārif
yang bersumber dari konsep tauhid dan hakikat sebenar ilmu mengenal Tuhan.
Monotheisme yang sempurna berasal dari orang-orang yang telah melupakan dirinya
dan mengerahkan seluruh anggota dirinya untuk menghadap alam yang tinggi.
Dengan keikhlasan dan penghambaan, ia mencerahkan pandangannya dengan cahaya
Tuhan dan dengan mata yang realistik ia menyaksikan seluruh hakikat segala
sesuatu, malakut langit dan bumi. Melalui "keikhlasan dan
penghambaan" serta iman yang kuat, malakut langit dan bumi serta kehidupan
abadi akan tersingkap baginya.
Dengan memperhatikan ayat-ayat al-Qur'an berikut maka dakwaan ini akan menjadi jelas:
"Dan sembahlah Tuhanmu sampai keyakinan (ajal) datang kepadamu." (Surah Al-Hijr [15]:99)
"Sungguh kamu benar-benar akan melihatnya dengan ainul yakin." (Surah Al-Takatsur [102]:5-6)
"Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang soleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya.” (Surah Al-Kahf [18]:110)
Irfan Syiah
Pertama, sumber kemunculan Irfan dalam Islam harus dilihat pada akar umbi penjelasan-penjelasan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib (a.s) yang amat fasih dalam masalah hakikat-hakikat irfan dan tingkatan-tingkatan kehidupan maknawi di mana hal ini menjadi khazanah tak-terbatas kemudian mewariskan maʻārif ini kepada umat manusia.
Kedua, amalan tuntutan-tuntutan syariat dalam sair dan sulūk serta menyelaraskan sair dan suluk dengan peraturan-peraturan syariat merupakan faktor yang paling penting dalam menjaga irfan Syiah dari berbagai penyimpangan pemikiran dan moral.
Dengan memperhatikan ayat-ayat al-Qur'an berikut maka dakwaan ini akan menjadi jelas:
"Dan sembahlah Tuhanmu sampai keyakinan (ajal) datang kepadamu." (Surah Al-Hijr [15]:99)
"Sungguh kamu benar-benar akan melihatnya dengan ainul yakin." (Surah Al-Takatsur [102]:5-6)
"Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang soleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya.” (Surah Al-Kahf [18]:110)
Irfan Syiah
Pertama, sumber kemunculan Irfan dalam Islam harus dilihat pada akar umbi penjelasan-penjelasan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib (a.s) yang amat fasih dalam masalah hakikat-hakikat irfan dan tingkatan-tingkatan kehidupan maknawi di mana hal ini menjadi khazanah tak-terbatas kemudian mewariskan maʻārif ini kepada umat manusia.
Kedua, amalan tuntutan-tuntutan syariat dalam sair dan sulūk serta menyelaraskan sair dan suluk dengan peraturan-peraturan syariat merupakan faktor yang paling penting dalam menjaga irfan Syiah dari berbagai penyimpangan pemikiran dan moral.
- Persembahan
pemikiran Syiah dalam daerah Teologi
Apa
kami jelaskan hingga kini adalah mengenai pemikiran Syiah secara ringkas. Namun
hadiah dan persembahan pemikiran seperti ini sangatlah luas pada tahap
praktikal dan keyakinan. Bahkan untuk menyebut judul-judul dan sub-judul juga
menjadi sangat panjang. Kerana itu di sini kita hanya akan menyebutkan
sebahagian judul dan sub-judul berbagai persembahan pemikiran Syiah pada daerah
teologi (kalam) dan kami akan tempatkan perbahasan yang lebih terperinci dan
jelas mengenai persembahan pemikiran Syiah dalam daerah teologi dan fiqh pada
kesempatan akan datang:
- Keyakinan
terhadap kewujudan Tuhan merupakan konsep yang diterima secara umum oleh
agama-agama Ilahi dengan banyak jalan argumentasi dan rasional yang
dikemukakan berikaitan dengan masalah ini.
- Tingkatan
pertama tauhid adalah tauhid dhāti
dan sebagai ikutannya adalah tauhid perbuatan. Ertinya Allah (s.w.t) itu
Esa dan tidak ada yang menyerupai-Nya. Dzat-Nya adalah basīṭ
dan bukan rangkaian. Rangkaian rasional dan luaran (khariji) tidak terjadi
pada zat-Nya. Zat Tuhan terhias dengan seluruh sifat kesempurnaan dan jauh
dari segala cacat cela dan kekurangan. Sifat-Nya bukan merupakan tambahan
bagi Dzat-Nya. Dalam mengerjakan segala urusan-Nya, Dia tidak memerlukan
sesuatu atau siapa pun. Tidak satu pun entiti dan maujūd
yang dapat memberikan bantuan kepada-Nya.
·
Alam
semesta tidak memiliki pemelihara dan pengatur selain Tuhan. Sementara itu
pengatur-pengatur yang lainnya seperti para malaikat hanya dapat menunaikan
tugas tatkala mendapatkan izin daripada Allah (s.w.t).
·
Tauhid
dalam ibadah merupakan konsep yang dianuti secara umum di kalangan seluruh
syariat-syariat samawi. Tujuan diutusnya para nabi adalah mengingatkan dan menegaskan
konsep ini.
·
Keyakinan
terhadap syafaat dan tawassul. Sesuai dengan ajaran-ajaran al-Qur'an
kedua-duanya tidak bertentangan dengan ajaran tauhid dan tidak termasuk sebagai
perbuatan syirik.
·
Keyakinan
terhadap ḥusn
dan qubḥ
ʻaqlī
(perbuatan baik dan buruk yang ditimbang dengan akal). Hal ini menegaskan
bahawa akal manusia dapat memahami bahawa Allah (s.w.t) sekali-kali tidak akan
mengerjakan perbuatan buruk lagi tercela dan dan segala sifat aniaya dinafikan
daripada-Nya.
·
Keyakinan
terhadap husn dan qubḥ
ʻaqli
memiliki hasil yang banyak di mana salah satu hasilnya adalah keyakinan
terhadap keadilan (ʻadālah). Keadilan itu
sendiri memiliki cabang dan banyak bahagian: misalnya keadilan Tuhan (di mana
keyakinan terhadap keadilan Tuhan membuka gerbang-gerbang maʻārif,
menyelesaikan berbagai masalah teologi) kemestian adilnya seorang
mujtahid, para hakim dan pemimpin politik dan sosial, imam jemaah, kesaksian di
pengadilan dan sebagainya.
·
Keyakinan
terhadap "amr baina al-amrayn" dalam pembahasan jabr
dan ikhtiyār.
·
Kehendak
Ilahi yang penuh hikmah menuntut manusia sampai pada kesempurnaan maka Allah
mengutuskan para nabi kepada manusia dan tidak memandang bahawa peranan akal
memadai dalam membimbing manusia mencapai tujuan-tujuan penciptaan yang tinggi.
·
Para nabi terpelihara dan terjaga dari
kesalahan yang disengaja ataupun tidak, ketika dalam proses penerimaan dan
penyampaian wahyu kepada umat manusia.
·
Para
nabi Allah terpelihara dari segala jenis dosa dan perbuatan tercela.
·
Nabi
Muhammad (s.a.w) merupakan nabi terakhir dari silsilah kenabian di mana
kenabiannya disertai cabaran dengan mukjizat abadinya.
·
Ajaran
Islam merupakan ajaran universal yang bersifat semesta bukan bersifat tempatan
dan kedaerahan, atau kesukuan.
·
Nabi
Muhammad (s.a.w) adalah Nabi terakhir, kitabnya merupakan penutup kitab-kitab
dan syariatnya juga merupakan syariat terakhir dari silsilah syariat samāwī.
·
Kitab
samāwī
kaum Muslimin terjaga dari segala jenis penyelewengan, tiada sesuatu pun yang
ditambahkan kepadanya juga tiada sesuatu yang dikurangi.
·
Kehendak
Ilahi yang penuh hikmah menuntut Nabi (s.a.w) memperkenalkan imam dan pemimpin
setelahnya dan baginda juga dengan menyatakan Ali bin Abi Thalib (a.s) sebagai
khalifah sepeninggalannya dan Nabi (s.a.w) telah menunaikan tugas ini dengan
baik dalam berbagai peristiwa.
·
Tugas
imam setelah wafatnya Rasulullah (s.a.w) adalah: Menjelaskan al-Qur'an,
menerangkan hukum-hukum syariat, menjaga masyarakat dari penyimpangan, menjawab
seluruh pertanyaan yang berkaitan dengan agama dan keyakinan, melaksanakan
keadilan di tengah masyarakat, membentengi pembatasan-pembatasan Islam daripada
musuh-musuh.
·
Imam
dan khalifah Rasulullah (s.a.w) dari sisi keilmuan dan akhlak sentiasa mendapat
perhatian Ilahi dan berbagai pengajaran melalui bantuan gaib; ertinya seorang
maksum seperti Rasulullah (s.a.w), harus terpelihara dari segala jenis
kesalahan, kelupaan dan kelalaian serta dari berbagai dosa. Atas dasar
ini, hanya Tuhan sahaja yang dapat menentukan siapakah imam dan hal itu
dilakukan melalui Nabi (s.a.w) atau imam sebelumnya.
·
Khalifah
Rasulullah (s.a.w) adalah dua belas orang dan redaksi "itsna 'asyar
khalifah" (dua belas khalifah) telah disebut dalam sumber-sumber kedua
mazhab di mana khalifah pertamanya adalah Ali bin Abi Thalib dan khalifah
terakhirnya adalah Imam Mahdi bin Hasan al-Askari (a.j.f).
·
Turutan
nama-nama suci para imam dan khalifah Rasulullah (s.a.w) sebagai berikut: 1.
Ali bin Thalib. 2. Hasan bin Ali. 3. Husain bin Ali. 4. Ali bin Husain. 5.
Muhammad bin Ali. 6. Ja'far bin Muhammad. 7. Musa bin Ja'far. 8. Ali bin Musa.
9. Muhammad bin Ali. 10. Ali bin Muhammad. 11. Hasan bin Ali. 12. Muhammad bin
Hasan (Imam Mahdi (a.j.f)).
·
Imam
Keduabelas Imam Mahdi Mau'ud (yang dijanjikan) putra Imam Hasan Askari lahir
pada tahun 255 Hijriah di Samarra (Irak) dan hingga kini masih hiup serta
sedang menanti perintah Ilahi untuk bangkit (menegakkan pemerintahan
berkeadilan). Pada zaman keghaiban Imam Mahdi (a.j.f) yang menjabat sebagai
pemimpin pemerintahan Islam adalah walī
faqīh.
·
Di
antara ciri-ciri pemikiran Syiah ialah terbukanya pintu ijtihad; ertinya dalam
bidang fikah dan hukum-hukum praktikal, Syiah memandang bahawa penerapan
kaedah-kaedah universal atas masalah-masalah partikular dan simpulan
aturan-aturan syariat dari teks-teks agama tetap terbuka dan tidak terbatas
pada apa yang dipahami oleh orang-orang terdahulu.
·
Kemunculan
seseorang daripada keluarga Nabi (s.a.w) di akhir zaman untuk menegakkan
keadilan dan membimbing manusia ke arah kesempurnaan yang sebenar merupakan
salah satu keyakinan yang diterima dalam Islam di mana terdapat banyak hadis
daripada kedua belah mazhab Syiah dan Sunni yang menegaskan hal ini. Bahkan
kemunculan seorang penyelamat merupakan salah satu keyakinan agama-agama dan
mazhab-mazhab yang ada di dunia hari ini seperti agama Kristian, Yahudi,
Zoroastrian dan sebagainya.
·
Keyakinan
terhadap adanya rajʻah
terhadap
sebahagian orang yang akan kembali ke dunia setelah kematian mereka sebelum
berlangsungnya peristiwa kiamat.
·
Keyakinan terhadap kehidupan pasca kematian
dan manusia memperoleh ganjaran atas amal baiknya dan hukuman atas amal
buruknya di alam akhirat dan bahawa kematian bukanlah berakhirnya kehidupan.
Bahkan dengan kematian manusia akan berpindah ke dunia yang lain dan melintasi
terminal antara alam dunia dan alam akhirat yang disebut sebagai barzakh yang
memiliki kehidupan, nikmat dan azab tertentu.
SUMBER :
Iqbal,
Muhammad, Fiqih Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam,
Jakarta: Gaya Media Persada, 2001.
Nasution,
Harun, Teologi Islam: Aliran – Aliran Sejarah Analisa Perbandingan,
Jakarta: UI Press, 1986.
Pulungan,
Suyuti, Fiqih Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: PT.Raja
Grafindo Persada, 1997.
CIRI – CIRI PENGIKUT SYIAH
Indonesia
tengah menjadi target Syi’ahisasi besar-besaran. Hingga kini banyak pengikutnya
berada di berbagai wilayah Indonesia, terutama di Jawa Barat dan Sulawesi
Selatan.
Jumlah
penganut Syiah di Indonesia Ketua Dewan Syura Ikatan Jamaah Ahlul Bait
Indonesia (IJABI) Jalaluddin Rakhmat, pernah mengatakan kisaran jumlah penganut
Syiah di Indonesia , “Perkiraan tertinggi, 5 juta orang.” sebagian besar ada di
Bandung, Makassar, dan Jakarta. Selain itu, ada juga kelompok Syiah di Tegal,
Jepara, Pekalongan, dan Semarang; Garut; Bondowoso, Pasuruan, dan Madura.
Diperkirakan,
kebanyakan dari mereka sedang melakukan taqiyah dalam rangka melindungi diri
dari kelompok Sunni. Taqiyah adalah kondisi luar seseorang dengan yang ada di
dalam batinnya tidaklah sama. Memang taqiyah juga dikenal di kalangan Ahlus
Sunnah. Hanya saja menurut Ahlus Sunnah, taqiyah digunakan untuk menghindarkan
diri dari musuh-musuh Islam alias orang kafir atau ketika perang maupun kondisi
yang sangat membahayakan orang Islam.
Sementara
itu menurut Syi’ah bahwa Taqiyah wajib dilakukan. Jadi taqiyah adalah salah
satu prinsip agama mereka. Taqiyah dilakukan kepada orang selain Syi’ah,
seperti ungkapan bahwa Al Quran Syi’ah adalah sama dengan Al Quran Ahlus
Sunnah. Padahal ungkapan ini hanyalah kepura-puraan mereka. Mereka juga
bertaqiyah dengan pura-pura mengakui pemerintahan Islam selain Syi’ah.
Menurut
Ali Muhammad Ash Shalabi, taqiyah dalam Syiah ada empat unsur pokok ajaran ; Pertama,
Menampilkan hal yang berbeda dari apa yang ada dalam hatinya. Kedua,
taqiyah digunakan dalam berinteraksi dengan lawan-lawan Syiah. Ketiga,
taqiyah berhubungan dengan perkara agama atau keyakinan yang dianut
lawan-lawan. Keempat, digunakan di saat berada dalam kondisi
mencemaskan
Menurut
Syaikh Mamduh Farhan Al-Buhairi di Majalah Islam Internasional Qiblati,
ciri-ciri pengikut Syi’ah sangat mudah dikenali, kita dapat memperhatikan
sejumlah cirri-ciri berikut:
- Mengenakan
songkok hitam dengan bentuk tertentu. Tidak seperti songkok yang dikenal
umumnya masyarakat Indonesia, songkok mereka seperti songkok orang Arab
hanya saja warnanya hitam.
- Tidak
shalat jum’at. Meskipun shalat jumat bersama jamaah, tetapi dia langsung
berdiri setelah imam mengucapkan salam. Orang-orang akan mengira dia
mengerjakan shalat sunnah, padahal dia menyempurnakan shalat Zhuhur empar
raka’at, karena pengikut Syi’ah tidak meyakini keabsahan shalat Jum’at
kecuali bersama Imam yang ma’shum atau wakilnya.
- Pengikut
Syi’ah juga tidak akan mengakhiri shalatnya dengan mengucapkan salam
yang dikenal kaum Muslimin, tetapi dengan memukul kedua pahanya beberapa
kali.
- Pengikut
Syi’ah jarang shalat jama’ah karena mereka tidak mengakui shalat lima
waktu, tapi yang mereka yakini hanya tiga waktu saja.
- Mayoritas
pengikut Syi’ah selalu membawa At-Turbah Al-Husainiyah yaitu batu/tanah
(dari Karbala – redaksi) yang digunakan menempatkan kening ketika sujud
bila mereka shalat tidak di dekat orang lain.
- Jika
Anda perhatikan caranya berwudhu maka Anda akan dapati bahwa wudhunya
sangat aneh, tidak seperti yang dikenal kaum Muslimin.
- Anda
tidak akan mendapatkan penganut Syi’ah hadir dalam kajian dan ceramah
Ahlus Sunnah.
- Anda
juga akan melihat penganut Syi’ah banyak-banyak mengingat Ahlul Bait; Ali,
Fathimah, Hasan dan Husain radhiyallahu anhum.
- Mereka
juga tidak akan menunjukkan penghormatan kepada Abu Bakar, Umar, Utsman,
mayoritas sahabat dan Ummahatul Mukminin radhiyallahu anhum.
- Pada
bulan Ramadhan penganut Syi’ah tidak langsung berbuka puasa setelah Adzan
maghrib; dalam hal ini Syi’ah berkeyakinan seperti Yahudi yaitu berbuka
puasa jika bintang-bintang sudah nampak di langit, dengan kata lain mereka
berbuka bila benar-benar sudah masuk waktu malam. (mereka juga tidak
shalat tarwih bersama kaum Muslimin, karena menganggapnya sebagai bid’ah)
- Mereka
berusaha sekuat tenaga untuk menanam dan menimbulkan fitnah antara jamaah
salaf dengan jamaah lain, sementara itu mereka mengklaim tidak ada
perselisihan antara mereka dengan jamaah lain selain salaf. Ini tentu
tidak benar.
- Anda
tidak akan mendapati seorang penganut Syi’ah memegang dan membaca
Al-Qur’an kecuali jarang sekali, itu pun sebagai bentuk taqiyyah
(kamuflase), karena Al-Qur’an yang benar menurut mereka yaitu al-Qur’an
yang berada di tangan al-Mahdi yang ditunggu kedatangannya.
- Orang
Syi’ah tidak berpuasa pada hari Asyura, dia hanya menampilkan kesedihan di
hari tersebut.
- Mereka
juga berusaha keras mempengaruhi kaum wanita khususnya para mahasiswi di
perguruan tinggi atau di perkampungan sebagai langkah awal untuk memenuhi
keinginannya melakukan mut’ah dengan para wanita tersebut bila nantinya
mereka menerima agama Syi’ah. Oleh sebab itu Anda akan dapati;
- Orang-orang
Syi’ah getol mendakwahi orang-orang tua yang memiliki anak putri, dengan
harapan anak putrinya juga ikut menganut Syi’ah sehingga dengan leluasa
dia bisa melakukan zina mut’ah dengan wanita tersebut baik dengan
sepengetahuan ayahnya ataupun tidak. Pada hakikatnya ketika ada seorang
yang ayah yang menerima agama Syi’ah, maka para pengikut Syi’ah yang lain
otomatis telah mendapatkan anak gadisnya untuk dimut’ah. Tentunya setelah
mereka berhasil meyakinkan bolehnya mut’ah. Semua kemudahan, kelebihan,
dan kesenangan terhadap syahwat ini ada dalam diri para pemuda, sehingga
dengan mudah para pengikut Syi’ah menjerat mereka bergabung dengan agama
Syi’ah.
Ciri-ciri
mereka sangat banyak. Selain yang kami sebutkan di atas masih banyak cirri-ciri
lainnya, sehingga tidak mungkin bagi kita untuk menjelaskan semuanya di sini.
Namun cara yang paling praktis ialah dengan memperhatikan raut wajah. Wajah
mereka merah padam jika Anda mencela Khomeini dan Sistani, tapi bila Anda
menghujat Abu Bakar, Umar, Utsman, Aisyah dan Hafshah, atau sahabat-sahabat
lainnya radhiyallahu anhum tidak ada sedikitpun tanda-tanda kegundahan
di wajahnya.