Rabu, 22 Oktober 2014

Aliran Sesat Syiah

SEJARAH KEMUNCULAN SYIAH

Syiah menurut etimologi bahasa arab bermakna pembela dan pengikut seseorang, selain itu juga bermakna setiap kaum yang berkumpul diatas suatu perkara. (Tahdzibul Lughah, 3/61 karya Azhari dan Taajul Arus, 5/405, karya Az-Zabidi)
Adapun menurut terminologi syariat, syiah bermakna mereka yang menyatakan bahwa Ali bin Abu Thalib lebih utama dari seluruh sahabat dan lebih berhak untuk menjadi khalifah kaum muslimin, begitu pula sepeninggal beliau (Al-Fishal Fil Milali Wal Ahwa Wan Nihal karya Ibnu Hazm)
Syiah mulai muncul setelah pembunuhan khalifah Utsman bin ‘Affan. Pada masa kekhalifahan Abu Bakar, Umar, masa-masa awal kekhalifahan Utsman yaitu pada masa tahun-tahun awal jabatannya, Umat islam bersatu, tidak ada perselisihan. Kemudian pada akhir kekhalifahan Utsman terjadilah berbagai peristiwa yang mengakibatkan timbulnya perpecahana, muncullah kelompok pembuat fitnah dan kezhaliman, mereka membunuh Utsman, sehingga setelah itu umat islam pun berpecah-belah.
Pada masa kekhalifahan Ali juga muncul golongan syiah akan tetapi mereka menyembunyikan pemahaman mereka, mereka tidak menampakkannya kepada Ali dan para pengikutnya.
Saat itu mereka terbagi menjadi tiga golongan.
  1. Golongan yang menganggap Ali sebagai Tuhan. Ketika mengetahui sekte ini Ali membakar mereka dan membuat parit-parit di depan pintu masjid Bani Kandah untuk membakar mereka. Imam Bukhari meriwayatkan dalam kitab shahihnya, dari Ibnu Abbas ia mengatakan, “Suatu ketika Ali memerangi dan membakar orang-orang zindiq (Syiah yang menuhankan Ali). Andaikan aku yang melakukannya aku tidak akan membakar mereka karena Nabi pernah melarang penyiksaan sebagaimana siksaan Allah (dibakar), akan tetapi aku pasti akan memenggal batang leher mereka, karena Nabi bersabda:
    من بدل دينه فاقتلوه
    Barangsiapa yang mengganti agamanya (murtad) maka bunuhlah ia
  2. Golongan Sabbah (pencela). Ali mendengar tentang Abu Sauda (Abdullah bin Saba’) bahwa ia pernah mencela Abu Bakar dan Umar, maka Ali mencarinya. Ada yang mengatakan bahwa Ali mencarinya untuk membunuhnya, akan tetapi ia melarikan diri
  3. Golongan Mufadhdhilah, yaitu mereka yang mengutamakan Ali atas Abu Bakar dan Umar. Padahal telah diriwayatkan secara mutawatir dari Nabi Muhammad bahwa beliau bersabda,
خير هذه الأمة بعد نبيها أبو بكر ثم عمر
Sebaik-baik umat ini setelah nabinya adalah Abu Bakar dan Umar”.
Riwayat semacam ini dibawakan oleh imam Bukhari dalam kitab shahihnya, dari Muhammad bin Hanafiyyah bahwa ia bertanya kepada ayahnya, siapakah manusa terbaik setelah Rasulullah, ia menjawab Abu Bakar, kemudian siapa? dijawabnya, Umar.
Dalam sejarah syiah mereka terpecah menjadi lima sekte yang utama yaitu Kaisaniyyah, Imamiyyah (rafidhah), Zaidiyyah, Ghulat dan Ismailliyah. Dari kelima sekte tersebut lahir sekian banyak cabang-cabang sekte lainnya.
Dari lima sekte tersebut yang paling penting untuk diangkat adalah sekte imamiyyah atau rafidhah yang sejak dahulu hingga saat ini senantiasa berjuang keras untuk menghancurkan islam dan kaum muslimin, dengan berbagai cara kelompok ini terus berusaha menyebarkan berbagai macam kesesatannya, terlebih setelah berdirinya negara syiah, Iran yang menggulingkan rezim Syah Reza Pahlevi.
Rafidhah menurut bahasa arab bermakna meninggalkan, sedangkah dalam terminologi syariat bermakna mereka yang menolak kepemimpinan abu bakar dan umar, berlepas diri dari keduanya, mencela lagi menghina para sahabat nabi.
Abdullah bin Ahmad bin Hanbal berkata, “Aku telah bertanya kepada ayahku, siapa Rafidhah itu?” Maka beliau menjawab, “Mereka adalah orang-orang yang mencela Abu Bakr dan Umar.” (ash-Sharimul Maslul ‘Ala Syatimir Rasul hlm. 567, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah)
Sebutan “Rafidhah” ini erat kaitannya dengan Zaid bin ‘Ali bin Husain bin ‘Ali bin Abu Thalib dan para pengikutnya ketika memberontak kepada Hisyam bin Abdul Malik bin Marwan di tahun 121 H. (Badzlul Majhud, 1/86)
Syaikh Abul Hasan al-Asy’ari berkata, “Tatkala Zaid bin ‘Ali muncul di Kufah, di tengah-tengah para pengikut yang membai’atnya, ia mendengar dari sebagian mereka celaan terhadap Abu Bakr dan ‘Umar. Ia pun mengingkarinya, hingga akhirnya mereka (para pengikutnya) meninggalkannya. Maka beliaupun mengatakan kepada mereka:
رَفَضْتُمُوْنِي؟
Kalian tinggalkan aku?
Maka dikatakanlah bahwa penamaan mereka dengan Rafidhah dikarenakan perkataan Zaid kepada mereka “Rafadhtumuunii.” (Maqalatul Islamiyyin, 1/137). Demikian pula yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa (13/36).
Pencetus paham syiah ini adalah seorang yahudi dari negeri Yaman (Shan’a) yang bernama Abdullah bin saba’ al-himyari, yang menampakkan keislaman di masa kekhalifahan Utsman bin Affan.
Abdullah bin Saba’ mengenalkan ajarannya secara terang-terangan, ia kemudian menggalang massa, mengumumkan bahwa kepemimpinan (imamah) sesudah Nabi Muhammad seharusnya jatuh ke tangan Ali bin Abi Thalib karena petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (menurut persangkaan mereka).
Menurut Abdullah bin Saba’, Khalifah Abu Bakar, Umar dan Utsman telah mengambil alih kedudukan tersebut. Dalam Majmu’ Fatawa, 4/435, Abdullah bin Shaba menampakkan sikap ekstrem di dalam memuliakan Ali, dengan suatu slogan bahwa Ali yang berhak menjadi imam (khalifah) dan ia adalah seorang yang ma’shum (terjaga dari segala dosa).
Keyakinan itu berkembang terus-menerus dari waktu ke waktu, sampai kepada menuhankan Ali bin Abi Thalib. Ali yang mengetahui sikap berlebihan tersebut kemudian memerangi bahkan membakar mereka yang tidak mau bertaubat, sebagian dari mereka melarikan diri.
Abdullah bin Saba’, sang pendiri agama Syi’ah ini, adalah seorang agen Yahudi yang penuh makar lagi buruk. Ia disusupkan di tengah-tengah umat Islam oleh orang-orang Yahudi untuk merusak tatanan agama dan masyarakat muslim. Awal kemunculannya adalah akhir masa kepemimpinan Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan. Kemudian berlanjut di masa kepemimpinan Khalifah ‘Ali bin Abi Thalib. Dengan kedok keislaman, semangat amar ma’ruf nahi mungkar, dan bertopengkan tanassuk (giat beribadah), ia kemas berbagai misi jahatnya. Tak hanya aqidah sesat (bahkan kufur) yang ia tebarkan di tengah-tengah umat, gerakan provokasi massa pun dilakukannya untuk menggulingkan Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan. Akibatnya, sang Khalifah terbunuh dalam keadaan terzalimi. Akibatnya pula, silang pendapat diantara para sahabat pun terjadi. (Lihat Minhajus Sunnah karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, 8/479, Syarh Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyyah Ibnu Abil ‘Izz hlm. 490, dan Kitab At-Tauhid karya Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hlm. 123)
Rafidhah pasti Syi’ah, sedangkan Syi’ah belum tentu Rafidhah. Karena tidak semua Syi’ah membenci Abu Bakr dan ‘Umar sebagaimana keadaan Syi’ah Zaidiyyah, sekte syiah yang paling ringan kesalahannya.
[Disusun dari dari berbagai sumber, di antaranya kitab Al-Furqon Bainal Haq Wal Batil tulisan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, judul bahasa indonesia “Membedah Firqoh Sesat” penerbit Al-Qowam]


MADZHAB – MADZHAB SYIAH

Berbicara mengenai aliran Syiah atau Madzhab Syiah dan macam ragamnya, maka perlu diketahui bahwa Madzhab Madzhab Syiah itu mempunyai nama dan ada bermacam macam namanya.
Karenanya apabila kita membahas atau mengkaji aliran Syiah atau Madzhab Syiah, maka harus jelas nama aliran yang sedang kita bahas. Sebab setiap Madzhab Syiah mempunyai keyakinan yang berbeda beda.
Nama nama Syiah tersebut bermunculan diabad ketiga. Sedang sebelumnya mereka hanya dikenal dengan sifat mereka dan julukan mereka, seperti Ghula, Rofidhoh atau dinisbatkan kepemimpinnya seperti Saba’iyyah atau dinisbatkan ke tokoh yang di klaim sebagai Imamnya atau  pemimpinnya.
Disebut Ghulu atau Ghula atau Ghulat karena mereka mempunyai sifat yang berlebihan dalam aqidahnya dan berlebihan dalam cintanya kepada Sayyidina Ali kw, bahkan ada yang menganggap Sayyidina Ali kw sebagai Tuhan. Itulah sebabnya oleh Sayyidina Ali kw mereka sampai dibunuh (dibakar), dan Abdulah bin Saba’ diusir ke Madain Persia. Mereka itulah yang dikenal dengan ”Muhibbun Ghollin” Pecinta yang berlebihan.
Rosululloh SAW pernah bersabda:
           قال رسول الله صلى الله عليه وسلم:  يا علي يهلك فيك اثنان محب غال ومبغض
Wahai Ali, celaka dua golongan yang sikapnya terhadapmu, sebagai pecinta yang berlebihan (kelewat) dan pembenci.
Sedang Sayyidina Ali pernah berkata:
وقال سيدنا علي بن أبي طالب كرم الله وجهه:  يهلك فينا اثنان محب غالٍ ومبغض قالٍ.
“Celaka dua golongan yang sikapnya terhadap kami, sebagai pecinta yang berlebihan (kelewat) dan pembenci yang mengumpat”.
Dari sifat mereka yang berlebihan tersebut maka mereka disebut Ghulu atau Ghula atau Ghulat.
Adapun Rofidhoh adalah julukan (Nabzon) dari Rosululloh bagi orang orang yang memusuhi dan membenci Sayyidina Abubakar ra dan Sayyidina Umar ra.
Rasulullah SAW pernah bersabda :

سَيَأتِىْ مِنْ بَعْدِى قَوْمٌ لَهُمْ نَبْزٌ يُقَاُل الرَّافِضَةْ، فَاِذَا أَدْرَكْتَهُمْ فَاقْتُلْهُمْ فَاِنَّهُمْ مُشْرِكُوْنْ. 
(رواه الامام احمد والدار قطنى)
Akan muncul sesudah aku tiada, satu golongan yang mendapat julukan Rofidhoh. Jika kamu mendapatkan mereka, maka bunuhlah (perangilah) mereka. Sebab mereka itu orang orang musyrik.

Mendengar keterangan Rasululloh SAW tersebut, Sayyidina Ali kw segera bertanya kepada Rasululloh SAW mengenai tanda tandanya orang Rofidhoh tersebut.
Rasulullah SAW menjawab :

يَنْتَحِلُوْنَ حُبّ أَهْل البَيْتْ وَلَيْسُوا كَذَلِكْ، وَأيَةُ ذَلِكْ أَنَّهُمْ يَسُبُّوْنَ اَبَابَكَرْ وَعُمَرْ  (الدار قطنى)
Mereka itu seakan akan mencintai Ahlul Bait, padahal mereka itu tidak demikian. Sedang tanda tandanya, mereka itu suka mencaci maki Abu Bakar dan Umar.        (Ad-dhar Gutni)

Namun saat ini Madzhab Syiah yang bermacam macam namanya itu tinggal beberapa saja yang masih berkembang, yaitu:

1. Madzhab Syiah Zaidiyyah yang berpusat di Yaman utara. Mereka kemudian berkembang, ada yang namanya Batariyyah, Sulaimaniyyah dan Jarudiyyah. Tapi sekarang karena pengaruh Iran, sebagian dari mereka sudah beralih ke Syiah Imamiyyah Itsna’asyariyyah. Mereka inilah yang tempo hari memberontak di Yaman.

2. Syiah Ismailiyyah, berkembang di India dan Pakistan dengan sebutan Buhroh. Di Indonesia (Surabaya) ada beberapa orang India yang masih mengikuti Madzhab ini. Mereka hanya berkembang diantara keluarga mereka sendiri.

Disamping Syiah Buhroh, saat ini di Syria dan sekitarnya masih ada kelompok kelompok kecil pecahan dari Ismailiyyah, seperti Nushoiriyyah, Druz dll. Namun mereka sekarang sudah mulai tergeser dengan berkembangnya aliran Syiah Imamiyyah Itsna’asyariyyah yang di export oleh Khumaini ke daerah mereka. Dulu Mesir pernah dikuasai oleh pemerintahan Fathimiyyah, mereka juga pecahan dari Ismailiyah.

3. Syiah Imamiyyah Itsna’asyariyyah berpusat di Iran. Oleh Khumaini aliran ini di export keseluruh dunia Islam. Syiah inilah yang sekarang berkembang di Indonesia, dengan menggunakan nama samaran Madzhab Ahlul Bait atau Madzhab Ja’fariyyah. Diantara tokoh mereka Hasan Dzalil, Jalaluddin Rahmat, Umar Syahab, Utsman Umar Syihab dll. Dengan dana yang besar dari Iran, mereka mendekati dan memberangus tokoh tokoh kita dan ditamasyakan ke Iran untuk dicuci otaknya.

Saat ini Syiah inilah yang paling sesat dan paling berbahaya diantara Syiah Syiah yang ada. Perbedaan kita Ahlussunnah dengan mereka disamping dalam Furu’ juga dalam Ushul. Rukun Islam mereka berbeda dengan Rukun Islam kita Ahlussunnah, juga Rukun Iman mereka berbeda dengan Rukun Iman kita. Dan mereka mendudukkan Imam Imam mereka diatas para Rosul.

Mereka juga berkeyakinan bahwa Al-Qur’an yang kita baca sekarang ini sudah Muharrof atau tidak asli, artinya sudah dirubah oleh para Sahabat. Keyakinan yang demikian itu membuat mereka keluar dari Islam, sebab telah menolak Kalamulloh, dimana Alloh telah berfirman: “Kamilah yang telah menurunkan Alqur’an dan Kami yang menjaganya”. Disamping itu masih banyak lagi keyakinan keyakinan mereka yang membuat para Ulama menghukum mereka Kafir.

Kemudian karena mereka juga berkeyakinan dengan adanya “Roj’ah“, maka mereka oleh para ulama juga disebut Ghula.

Selanjutnya karena kebencian mereka kepada Sayyidina Abubakar ra dan Sayyidina Umar ra, maka mereka juga disebut Rofidhoh.   ( Baca buku “Export Revolusi Syiah Ke Indonesia” )




MASUKNYA SYIAH DI INDONESIA

Kapan Syiah masuk ke Indonesia pertama kali, hanya Allah  yang tahu. Sampai hari ini, pembicaraan tentang mula kali orang Syiah ada di Indonesia melulu berkubang pada dugaan-dugaan belaka. Ada yang menduga Syiah datang pada abad ke- 12 Masehi, ada yang percaya bahwa orang-orang Syiah sudah datang ke Kepulauan Nusantara jauh sebelum abad ke-12 itu. Ada yang meyakini ajaran Syiah dibawa oleh orang-orang Persia, namun ada juga yang meyakini Syiah diperkenalkan oleh orang-orang Arab langsung.
Para pemeluk Syiah di Indonesia sekarang banyak yang percaya, para pembawa Islam ke Indonesia ini adalah orang-orang Syiah. Bukan para sufi. Bukan pula para pedagang yang bermazhab Syafi’i. Namun, karena melakukan taqiyah, orang-orang Syiah pertama yang dimaksud berpura-pura menjalankan praktik-praktik Islam berdasarkan mazhab Syafi’i sampai akhirnya mazhab Syafi’ilah yang dikenal dan dicatat sejarah sebagai mazhab tertua yang berkembang di Indonesia. Lebih jauh lagi, sebagian pemeluk Syiah di negeri kita ini membuat klaim, penguasa muslim pertama di Nusantara yang bernama Sultan Malik ash-Shalih adalah penguasa Samudera Pasai pertama yang memeluk Syiah. Seperti yang dicatat sejarah, Kesultanan Samudera Pasai dikenal sebagai kesultanan tertua di Nusantara yang bermazhab Syafi’i. Keyakinan itu, ternyata didasarkan pada catatan perjananan Ibnu Batutah, seorang pelancong dari Maroko yang pernah singgah di Aceh pada tahun 1345—1346 M. Ia menulis,  “Sultan Jawa bernama Sultan Malik azh-Zhahir. Ia adalah sosok yang disegani dan dihormati. Lebih dari itu, ia termasuk penganut mazhab Syafi’i. Ia juga sangat mencintai para fuqaha yang datang ke majelisnya untuk bertukar pendapat. Masyarakat mengenalnya sebagai sosok yang senang berjihad dan berperang, namun juga rendah hati. Ia datang ke masjid untuk menunaikan shalat Jum’at dengan berjalan kaki.
Para penduduk Jawa mayoritas bermazhab Syafi’i. Mereka senang berjihad bersama sultan, hingga mereka memenangkan peperangan melawan orang-orang kafir. Bahkan, orang-orang kafir membayar jizyah kepada sultan sebagai bentuk perdamaian.” Apakah Ibnu Batutah dapat dipercaya? Sepertinya, kita semua sudah tahu jawabannya. Amat disayangkan, klaim orangorang Syiah itu diperkuat oleh pendapat kalangan pemerhati sejarah Islam di Indonesia. S.Q. Fatimi, A. Hasjmy, Wan Husein Azmi, Abu Bakar Aceh, dan Agus Sunyoto, adalah orang-orang yang pernah menulis bahwa Syiah telah ada pada masa-masa pertama perkembangan Islam di Kepulauan Nusantara. Keluar dari berbagai dugaan dan klaim, gelombang penyebaran Syiah di Indonesia dapat dibagi menjadi tiga. Masing-masing menempati waktu, memiliki ciri khas penyebaran, dan mengonversi orang-orang dengan tipikal tertentu.
Gelombang Pertama
Gelombang pertama terjadi sebelum Revolusi Iran tahun 1979. Pada gelombang pertama ini, orang-orang Syiah—dai atau bukan dai—terbilang sulit untuk diketahui. Terlebih lagi, mereka menjalankan taqiyah yang itu menjadi bagian penting agama mereka. Karena itu, para pemeluk Syiah pada masa itu bersifat sangat tertutup dan betul-betul menyembunyikan keyakinan Syiah mereka dari orang-orang sekitar. Alih-alih berdakwah secara terangterangan, orang-orang Syiah tersebut lebih memilih mendakwahkan Syiah kepada orang-orang terdekat mereka, seperti kepada anggota keluarga sendiri. Lagi pula, yang terpenting bagi waktu itu adalah bagaimana mereka tetap eksis sebagai seorang Syiah, meski dalam hati atau meski di tengah keluarga. Jelas saja, karena laku taqiyah khas Syiah itu, memperkirakan sedikit atau banyak orang yang memeluk Syiah pada gelombang pertama ini menjadi sebuah kemustahilan.
Kendati demikian, salah seorang ulama Syiah asal Lebanon, Muhammad Jawad Mughniyyah, pernah menyebutkan dalam bukunya yang terbit pada 1973, al-Shi’a fi al-Mizan, bahwa para pemeluk Syiah di Indonesia pada waktu itu berjumlah satu juta orang. Yang juga patut dicatat, sebelum Revolusi Iran meletus pada 1979, sejumlah pemuda Indonesia sudah ada yang berangkat dan belajar di Qum, Iran. Selain Najaf dan Karbala di Irak serta Masyhad di Iran, Qum menjadi salah satu dari empat kota suci milik Syiah yang banyak dikunjungi untuk keperluan ziarah dan belajar. Di Qum, para pemuda yang dimaksud memperdalam ajaran Syiah di hawzahhawzah ilmiyah, semacam lembaga pendidikan tradisional di kalangan Syiah yang dalam bahasa Indonesia dapat dimaknakan sebagai pondok pesantren atau juga madrasah. Mereka belajar di situ atas tanggungan ulama-ulama Syiah setempat yang mendapat biaya untuk itu lewat uang zakat dan khumus.
Di Indonesia sendiri, pada tanggal 21 Juni 1976, berdiri Yayasan Pesantren Islam Bangil atau sering disebut YAPI Bangil. Lembaga ini didirikan oleh Husein al-Habsyi (1921—1994) yang pernah belajar kepada Abdul Qadir Balfaqih, Muhammad Rabah Hassuna, Alwi bin Thahir al-Haddad, dan Muhammad Muntasir al-Kattani di Malaysia. Pesantren YAPI Bangil pun kemudian dikenal sebagai lembaga pendidikan Syiah tertua di Indonesia. Sudah sejak Husein al-Habsyi masih hidup, para santri di pesantren itu diajarkan secara khusus akidah Syiah. Untuk mengimbangi pelajaran fikih berdasarkan mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali, mereka diberikan juga pelajaran tentang fikih Syiah. Bisa dikatakan, santri-santri Pesantren YAPI Bangil yang kemudian banyak berdakwah di berbagai tempat di Indonesia.
Gelombang Kedua
Gelombang kedua penyebaran Syiah di Indonesia dimulai setelah Revolusi Iran meletus. Pada gelombang kali ini, banyak orang yang menjadi Syiah karena didorong intelektualitas mereka. Konversi menjadi Syiah pun banyak terjadi di tengah kalangan mahasiswa dan dosen. Salah seorang staf Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) waktu itu, Nabhan Husain, pernah mengatakan bahwa dakwah kampus yang sedang marak-maraknya pada 1970-an dan 1980-an mendorong banyak mahasiswa tertarik mempelajari pemikiranpemikiran Syiah.
Mereka tertarik karena keberhasilan Revolusi Iran, kepemimpinan revolusioner Khomeini, dan ideologi yang mendorong terjadinya revolusi itu. Selain itu, dan inilah yang jadi poin penting, dibanding dengan ajaran Islam yang tidak dapat dilepas dari wahyu, Syiah menawarkan cara berpikir yang rasional dan kritis. Bagi mahasiswa-mahasiswa tersebut, Syiah adalah sebuah alternatif terhadap isme-isme yang berkembang dewasa itu. Seperti diketahui bersama, dunia di 1970-an dan 1980-an menyaksikan persaingan sengit antara liberalisme dan komunisme, antara Blok Barat yang dipimpin Amerika Serikat dan Blok Timur yang dipimpin Uni Soviet. Segera setelah Revolusi Iran diketahui keberhasilannya, tulisan-tulisan tentang Iran, pemikiran-pemikiran intelektual Iran, dan ulama-ulama Syiah Iran membanjiri toko-toko buku di Indonesia.
Demikian pula dengan ulasan-ulasan tentang Revolusi Iran, Khomeini, dan filsafat Syiah yang ditulis oleh orang-orang Indonesia.
Di Bandung, Haidar Bagir, Ali Abdullah, dan Zainal Abidin yang baru lulus dari ITB mendirikan Penerbit Mizan pada tanggal 7 Maret 1983. Pada kali pertama, penerbit ini menerbitkan 2.000—3.000 eksemplar buku Dialog Sunni-Syi’ah: Surat-Menyurat antara asy-Syaikh al-Misyri al-Maliki, Rektor al-Azhar di Kairo Mesir dan as-Sayyid Syarafuddin al-Musawi al-‘Amili Seorang Ulama Besar Syiah yang mengundang banyak perhatian waktu itu. Buku tersebut sejatinya adalah terjemahan al-Muraja’at yang disusun oleh Syarafuddin al-Musawi al-‘Amili. Penerjemahnya adalah Muhammad al- Bagir al-Habsyi, ayah Haidar Bagir yang dikenal sebagai tokoh pembela Syiah. Muhammad Bagir kemudian banyak menerjemahkan buku-buku untuk Mizan. Mizan akhirnya banyak berperan menerbitkan buku-buku tentang pemikiran tokoh-tokoh Syiah pada 1980-an dan 1990-an.
Karena itu, masyarakat di Indonesia pun sempat menyebut Mizan sebagai penerbit Syiah terkemuka di Indonesia, sebelum kemudian menganggapnya sama seperti penerbit-penerbit buku umum lainnya sekarang ini. Pada saat bersamaan, di Bandung, Jalaluddin Rakhmat “tiba-tiba” tertarik kepada Syiah, setelah berdialog dan berdiskusi dengan ulama-ulama Syiah dan Husein al-Habsyi. Dari yang semula aktif berbicara tentang pemikiran Hasan al-Banna, Sayyid Quthub, dan Sa’id Hawwa, Jalaluddin Rakhmat kini mulai membicarakan akidah dan akhlak Syiah. Sudah bisa ditebak, ia pun diidentifikasi sebagai dai Syiah di Bandung dan kemudian dilarang berdakwah oleh MUI Kota Bandung pada 1985, menyusul keluarnya rekomendasi dari MUI Pusat untuk mewaspadai Syiah di tengah masyarakat. Tidak “jera” dengan larangan itu, Jalaluddin Rakhmat bersama Haidar
Bagir, Agus Effendy, Ahmad Tafsir, dan Ahmad Muhajir mendirikan Yayasan Muthahhari pada tanggal 3 Oktober 1988. Di bawah naungan yayasan itu, pada 1992, berdiri SMA Muthahhari yang oleh masyarakat waktu itu disebut sebagai sekolah modern milik Syiah yang pertama di kota kembang. Tidak lama dari berdirinya Yayasan Muthahhari, pada 1989, berdiri Pesantren al-Hadi di Pekalongan, Jawa Tengah. Pesantren ini didirikan oleh Ahmad Baragbah dan Hasan Musawa. Mereka terdorong oleh rasa prihatin mereka atas pandangan yang berkembang di masyarakat terhadap Syiah. Agar dapat meneruskan pendidikan ke jenjang lebih lanjut di Qum, Iran, sistem pendidikan Pesantren al-Hadi disesuaikan dengan sistem pendidikan yang ada di hawzahhawzah ilmiyah.
Gelombang Ketiga
Awal gelombang ketiga penyebaran Syiah tidak dapat dipastikan waktu tepatnya. Meski demikian, gelombang ketiga itu muncul ketika kebutuhan akan fikih Syiah makin mendesak. Hal ini wajar, sebab merebaknya pemikiranpemikiran Syiah di kalangan mahasiswa dan di kota-kota besar di Indonesia tidak diimbangi oleh menyebarnya tulisan-tulisan dan kajian-kajian tentang fikih Syiah. Ketika muncul seranganserangan mendiskreditkan Syiah karena memiliki praktik-praktik ibadah yang berbeda dengan Islam, mereka tidak siap menerimanya. Pada  saat bersamaan, alumni-alumni Qumdar I Indonesia mulai kembali k e tanah air dan mendakwahkan Syiah.
Berbeda dengan mahasiswa-mahasiswa yang tertarik dengan Syiah, alumni-alumni Qum ini adalah tipikal orang-orang yang mempelajari sesuatu (dalam hal ini adalah ajaran Syiah) sampai ke dasar-dasarnya. Mereka lebih paham akan fikih-fikih Syiah dan yang paling penting: mereka lebih radikal dan frontal dalam menghadapi serangan-serangan kepada mereka. Gelombang ketiga terasa dengan banyak dibukanya pengajian-pengajian Syiah di berbagai tempat. Selain pengajian-pengajian, mereka juga mulai menerbitkan buku-buku Syiah yang “berbau” fikih. Bukan hanya buku-buku yang berisi pemikiran dan filsafat tokohtokoh Syiah.
Orang-orang yang tertarik dengan Syiah pun tidak lagi datang dari kalangan terbatas seperti mahasiwa dan lingkungan perguruan tinggi. Kali ini mereka jauh lebih beragam yang, dalam kata-kata Jalaluddin Rakhmat, “tidak begitu terpelajar.” Kemunculan alumni-alumni Qum juga diimbangi oleh berdirinya yayasanyayasan Syiah di berbagai kota di Indonesia. Pada 1995, diketahui ada 40 yayasan Syiah yang telah berdiri di Indonesia dan 25 di antaranya berada di Jakarta. Kemudian juga, sebuah jurnal di Jakarta pernah mendata orang-orang yang memeluk Syiah di Indonesia pada 1995 itu. Hasilnya, yang tentu saja masih bisa diperdebatkan, ada 2 0 .000 orang yang menjalani ajaran Syiah secara total. Turunnya Soeharto dari jabatan Presiden RI pada MeI 1998 membawa dampak yang tidak sedikit di tengah masyarakat. Jika pada masa pemerintahan Soeharto komunitas Syiah masih diawasi dan dikontrol dengan baik, maka sepeninggalnya, komunitas Syiah berkembang pesat dan menanam pengaruh yang tidak bisa diabaikan.
Bahkan, pada masa pemerintahan Presiden Gus Dur berdiri untuk pertama kalinya secara resmi organisasi massa (ormas) milik komunitas Syiah di Indonesia, Ikatan Ahlulbait Indonesia (IJABI). IJABI didirikan di Bandung pada tanggal 1 Juli 2000. Sebagai ormas, IJABI terdaftar resmi lewat Surat Keterangan No. 127 Tahun 2000/ D1 Departemen Dalam Negeri Repbulik Indonesia, Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat. Untuk menjabat Ketua Dewan Syura IJABI, dipilih Jalaluddin Rakhmat. Setelah itu, Dr. Dimitri Mahayana dipilih sebagai Ketua Dewan Tanfidziyah. Sebagai sebuah ormas Syiah, IJABI ternyata berkembang pesat di tengah masyarakat Indonesia. Sampai 2008 yang lalu, IJABI mengaku telah memiliki anggota sekitar 2,5 juta orang di 84 cabang dan 145 sub-cabang IJABI yang tersebar di 33 provinsi di Indonesia. Meski terkadang muncul penolakan dari sebagian masyarakat terhadap keberadaan mereka, IJABI mampu menangani semua itu dengan baik.
Sebaliknya, bersama Dewan Masjid Indonesia (DMI), IJABI memprakarsai pendirian Majelis Sunni Syiah Indonesia (MUHSIN) pada tanggal 20 Mei dan tanggal 17 Juli 2011 di Bandung. MUHSIN dimaksudkan sebagai forum dialog antara mereka dan orang-orang Islam, juga sebagai wadah bersama untuk menggalakkan kegiatan-kegiatan sosial bersama antara komunitas Sunni dan Syiah. Ke dalam MUHSIN itu, juga bergabung organisasi-organisasi non-Syiah, seperti PMII Cabang Kabupaten Bandung, Forum Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Bandung, Forum Studi UIN Bandung, Forum Kajian Damar Institut, Muslimat NU Jawa Barat, dan Forum Gus Dur Bandung. Bahkan, yang ditunjuk sebagai Pimpinan Pengurus MUHSIN Pusat yang pertama adalah Ketua Departemen Pemuda dan Remaja DMI Pusat, H. Daud Poliradja.
Perpecahan Komunitas Syiah di Indonesia
Meski telah memiliki ormas seperti itu, komunitas Syiah di Indonesia bukan tidak sepi dari perselisihan dan perpecahan. Hal ini, di antaranya, terkait isu kepemimpinan Syiah di Indonesia dan ini telah mencuat jauh-jauh hari sebelum adanya IJABI, tepatnya pada pertengahan 1990-an. Jalaluddin Rakhmat waktu itu mengakui adanya hal tersebut dan menganggapnya sebagai bagian dari gap antara generasi Syiah gelombang kedua dan generasi Syiah gelombang ketiga. Dalam sebuah wawancara dengan jurnal Ulumul Qur’an, ia pernah mengatakan, “Belakangan Sy’iah gelombang ketiga ini menganggap Syi’ah gelombang kedua itu sebagai bukan orang Syi’ah yang sebenarnya. Jadi kalau saya dimasukkan ke dalam gelombang kedua, maka mereka menganggap saya bukan Syi’ah. Dan di dalam wacana Syiah sendiri, internal Syi’ah sekarang ini terjadi serangan yang cukup kuat terhadap Syi’ah gelombang kedua itu. Boleh jadi karena mereka ingin menghadirkan dirinya sebagai pemimpin Syi’ah baru di Indonesia. Boleh jadi juga karena mereka meyakini asumsi-asumsi mereka bahwa orang seperti saya ini bukan Syi’ah, dengan definisi yang berbeda itu.”
Setelah IJABI berdiri, sikap seperti itu terus berkembang di Indonesia, terutama di kalangan pemeluk Syiah yang mengaku keturunan ahlul bait Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebagian mereka dan para pendukung mereka merasa bahwa kepemimpinan Syiah di Indonesia harus dipegang oleh ahlul bait. Karena itu, mereka dengan tegas menolak kepemimpinan Jalaluddin Rakhmat yang jelas-jelas bukan ahlul bait. Di antara mereka pun ada yang tidak mengakui kesyiahan—dan bahkan mengafirkan—Jalaluddin Rakhmat dan orang-orang IJABI. Wallahu ta’ala a’lam.



PENDIRI SYIAH

Para ahli hadits dan para penulis kitab Al-Jarh wa At-Ta’dil, [1] para penulis sejarah serta penulis kitab-kitab tentang aliran-aliran telah sepakat tentang keberadaan tokoh keturunan Yahudi ini, dia ialah Abdullah bin Saba, yang juga berjuluk Ibnu Sauda.
Peran yang ia mainkan telah menanamkan bibit kerusakan di kalangan orang-orang munafiqin dan orang-orang sukuisme serta orang-orang yang di dalam hatinya berakar hawa nafsu dan keinginan-keinginan buruk lainnya. Andullah bin Saba memperlihatkan keislamannya pada masa kekhilafahan Utsman. Dia juga mempertontonkan pribadi yang shalih, kemudian berusaha menjalin kedekatan dengan Ali.
SIAPAKAH ABDULLAH BIN SABA?

Jati diri Abdullah bin Saba diperselisihkan. Ada sebagian ulama tarikh yang menisbatkannya ke suku Himyar. Sementara Al-Qummi memasukkannya ke dalam suku Hamadan. Adapun Abdul Qahir al-Baghdadi menyebutnya berasal dari kabilah Al-Hirah. Sedangkan Ibnu Katsir berpendapat, Ibnu Saba berasal dari Rumawi. Tetapi Ath-Thabari dan Ibnu Asakir menyebutnya berasal dari negeri Yaman.
Syaikh Abdullah Al-Jumaili menyatakan bahwa dirinya condong kepada pendapat yang terakhir. Dalihnya, pendapat ini mengakomodasi mayoritas pendapat tentang negeri asal Ibnu Saba. Pendapat ini tidak bertentangan dengan pendapat pertama (ia berasal dari suku Al-Himyar), juga dengan pendapat kedua (ia berasal dari suku Hamadan). Pasalnya, dua kabilah ini berasal dari Yaman. Sementara pendapat Ibnu Katsir dan Al-Baghdadi tidak sejalan. [2]
Perbedaan pendapat ini muncul lantaran keberadaan dirinya yang sengaja ia rahasiakan, sampai orang-orang yang sezaman dengannya pun tidak mengenalnya, baik nama maupun negeri asalnya. Sengaja ia sembunyikan identitas dirinya, karena ia memiliki rencana rahasia, yaitu ingin berbuat makar terhadap Islam. Dia tidaklah memeluk Islam, kecuali untuk mengelabui, karena ia ingin menggerogoti Islam dari dalam.
Salah satu bukti yang menunjukkan ia sengaja menutup diri, yaitu jawaban yang diberikan kepada Abdullah bin Amir. Tatkala ia ditanya oleh Abdullah bin Amir tentang asal usulnya, Abdullah bin Saba menjawab : “(Aku) adalah seorang lelaki dari ahli kitab yang ingin memeluk Islam, dan ingin berada disampingmu”.
MAKAR IBNU SABA

Abdullah bin Saba mengunjungi banyak negeri Islam. Dia berkeliling sambil menghasut kaum muslimin, agar ketaatan mereka kepada para penguasa meredup. Ia memulai dengan masuk negeri Hijaz, Bashrah, Kufah. Setelah itu menuju Damaskus. Namun di kota terakhir ini, ia tidak berkutik. Penduduknya mengusirnya dengan segera. Lantas Mesir menjadi tujuan selanjutnya dan ia menetap disana.
Langkah berikutnya, ia melakukan korespondensi dengan orang-orang munafiqin, memprovokasi para pendengki yang membenci Khalifah kaum muslimin. Banyak yang terperdaya, hingga kemudian mendukungnya. Dia hembuskan pemahaman yang ngawur kepada para pendukungnya itu. Dia berhasil menancapkan semangat untuk memberontak dan tidak taat di kalangan sebagian kaum muslimin. Sehingga mereka bertekad membunuh Khalifah Utsman. Khalifah yang ketiga, menantu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Para pengikut sang penghasut ini tidak menghormati kemulian kota Madinah. Mereka tidak menghormati kemulian bulan yang mulia. Juga tidak menghormati orang yang sedang membaca Al-Qur’an. Khalifah Utsman mereka bunuh saat sedang membaca Al-Qur’an.
Sepak terjang Abdullah bin Saba sangat nyata terekam sejarah. Namun ada saja yang mengingkari keberadaannya, dan menganggap Ibnu Sauda hanyalah tokoh dongeng atau fiktif. Bahkan ada yang menganggapnya sebagai Ammar bin Yasir. Kalau pendapat itu keluar dari orang Syi’ah atau para orientalis, tentu hal yang lumrah. Akan tetapi, anehnya, di antara yang menetapkan demikian ini ternyata orang-orang yang mengaku beragama Islam.
CENDEKIAWAN MUSLIM YANG MENGINGKARI KEBERADAAN ABDULLAH BIN SABA

Ada beberapa pemikir muslim yang menganggap bahwa Abdullah bin Saba hanyalah tokoh fiktif belaka, sehingga mereka mengingkari keberadaan Ibnu Saba. Di antara pemikir-pemikir tersebut ialah Dr Thaha Husain. Dia sangat dikenal sebagai corong orientalis. Pengingkarannya tentang keberadaan Ibnu Saba ini, ia tuangkan ke dalam tulisannya yang berjudul : Ali wa Banuhu dan Al-Fitnah Al-Kubra. Dalam tulisannya ini, ia benar-benar telah memenuhi otaknya dengan pemikiran orientalis, sampai-sampai ia mengatakan : “Aku berfikir dengan kerangka budaya Perancis dan menulisnya dengan bahasa Arab”.
Tokoh ini telah dijadikan sebagai kendaraan yang dimanfaatkan oleh Yahudi di Mesir untuk mengibarkan bendera Yahudi Internasional. Bersama para propagandis sosialisme di Mesir, ia menerbitkan majalah Katib Mishri. Sejak awal dia juga telah mengumumkan dukungannya terhadap pemikiran Yahudi Talmudiyyah ; yakni salah satu gerakan Yahudi yang mendustakan keberadaan Nabi Ibrahim, Nabi Ismail, Al-Qur’an dan Taurat. Sebuah gagasan yang bagi seorang orientalis kafir tidak berani mengatakannya.
Tentang Ibnu Saba (Ibnu Sauda), Dr Thaha Husain menyatakan, bahwa ihwal tentang Sabaiyyah dan perintisnya Ibnu Sauda, cerita tentang mereka hanyalah sekedar dipaksakan, dibuat skenarionya tatkala terjadi perdebatan atara Syi’ah dan golongan lainnya. Para seteru Syi’ah ingin memasukkan unsur Yahudi ke dalam prinsip keagamaan Syi’ah, sebagai usaha untuk lebih mantap dalam mematahkan dan mengganggu mereka …[3]
Selain Dr Thaha Husain, ada tokoh lain yang juga mengingkari adanya Abdullah bin Saba. Yaitu Dr Hamid Hafni Dawud, Dekan Jurusan Bahasa Arab Universitas Ain Syams. Dia seorang aktifis gerakan penyatuan Islam dengan Syi’ah. Sehingga tidak mengherankan jika ia berkata : “Sesungguhnya, cerita tentang Ibnu Saba (merupakan) salah satu dari kesalahan sejarah yang lolos dari penelitian para pakar sejarah dan menjadi sentral pemikiran mereka. Mereka itu sebenarnya tidak paham dan tidak mampu mencernanya. Ini adalah berita-berita buatan yang dipalsukan atas nama Syi’ah, sehingga mereka melekatkan kisah Abdullah bin Saba pada mereka (Syi’ah) dan menjadikannya sebagai cara untuk mendiskkreditkannya” [4]
Sederat nama berikut, memiliki pandangan yang sama. Mereka ialah : Muhammad bin Jawad Maghnia, Murtadha Al-Askari, Dr Ali Wardi, Dr Kamil Musthafa Asy-Syibi, Dr Abdullah Fayyad, Thalib Ar-Raifa’i. mereka adalah pemikir-pemikir yang mengingkari kebenaran adanya Ibnu Saba. Mereka menyatakan, Ibnu Saba adalah tokoh dongeng yang hakikatnya tidak ada dalam dunia nyata.
Secara khusus Dr Fayyadh mengatakan : “Terlihat dengan jelas bahwa Ibnu Saba tidak lebih hanya sekedar cerita tokoh fiktif belaka dalam dunia nyata. Sepak terjangnya kalau benar ia mempunyai andil terlalu dilebih-lebihkan lantaran berbagai motivasi agama dan politis. Dan bukti-bukti lemahnya cerita tentang Ibnu Saba sangat banyak” [5]
Sesungguhnya keberadaan Ibnu Saba ini tidak hanya ditulis dalam kitab-kitab ahli sunnah, bahkan juga direkam di dalam buku-buk Syi’ah.
Walaupun ada ulama Syi’ah sekarang ini mengingkarinya, lantaran telah mengetahui kebobrokan aqidah Ibnu Saba yang sudah banyak menyelinap di berbagai pecahan kelompok Syi’ah.
Diantara kitab-kitab karya ulama Syi’ah yang mengungkap keberadaan Abdullah bin Saba ialah kitab Risalah Al-Irja (karya Al-Hasan bin Muhammad bin Al-Hanafiyah), Al-Gharat (Abu Ishaq Ibrahim bin Muhamamd Sa’id Al-Asfahani), Al-Maqalatu wal Firaq (Sa’ad bin Abdillah Al-Qummi), Firaqu Asy-Syi’ah (Muhammad Al-Hasan bin Musa An-Nubakhti) Rijalu Al-Kisysyi (Abu Amr Muhammad bin Umar Al-Kisysyi), Rijalu Ath-Thusi (Abu Ja’far Muhammad bin Al-Hasan Ath-Thusi), Syarah Ibni Abil Hadid li Nahji Al-Balaghah (Izzudin Abu Hamid Abdul Hamid bin Hibatullah yang lebih popular dengan sebutan Ibnu Abil Hadid Al-Mu’tazili Asy-Syi’i, Ar-Rijal (Al-Hasan bin Yusuf Al-Hilli), Raudhatul Jannat (Muhammad Baqir Khawansari), Tanqihul Maqal fi Ahwali ar-Rijal (Abdullah Al-Mamqani), Qamusu Ar-Rijal (Muhammad Taqiyyi At-Tustari), Raudhatush Shafa, sebuah buku sejarah tentang Syi’ah yang ditulis dengan bahasa Parsi. Ini sebagian buku-buku Syi’ah yang meyinggungnya.
Demikian pandangan tokoh-tokoh yang menyatakan Abdullah bin Saba sekedar tokoh fiktif. Seolah-olah mereka tidak melupakan kitab-kitab Ahli Sunnah yang dipercaya. Demikian juga, seolah-olah mereka buta terhadap referensi-referensi kitab Syi’ah yang menjadi rujukan, yang mengandung kisah tentang Ibnu Saba, aqidah dan klaim-klaimnya yang didustakan oleh Ali, Ahlul Bait serta berlepas diri dari mereka.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun IX/1426H/2005. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
__________
Foote Note
[1]. Kitab tentang studi kritis perawi hadits
[2]. Badzlul Majhud fi Itsbati Musyabahati Ar-Rafidhah Lil Yahud karya Abdullah Al-Jumaily Maktabah Al-ghuraba Al-Atsaiyyah Madinah Munawwarah cet. III Thn.1419H/1999M
[3]. Ali wa Banuhu, karya Dr Thaha Husain, dinukil dari kitab Ibnu Saba Haqiatun La Khayal, karya Dr Sa’di Al-Hasyimi
[4]. At-Tasyayu Zhahiratun Thabi’iyyah fi Ithari Ad-Da’wah Al-Islamiyyah, hal. 18 dinukil dari kitab Ibnu Saba Haqiatun La Khayal, karya Dr Sa’di Al-Hasyimi
[5]. Tarikhul Imamiyyah wa Aslafahim Minsy Syi’ah, hal.92-100





TOKOH – TOKOH SYIAH DI INDONESIA

Beberapa saudara muslim sudah ada yang mengenali dan mewaspadai beberapa tokoh syi’ah berikut ini. Namun mayoritas muslim belum, lantaran  ada pengaburan dan tipu-tipu yang dilakukan oleh tokoh-tokoh ini. Mereka para tokoh syi’ah adalah orang-orang yang tampil di permukaan.
Menurut ustadz Farid Ahmad Okbah MA, Direktur Pesantren Al-Islam: “Mereka yang ada di organisasi-organisasi syi’ah seperti ABI, IJABI dan lain-lain tidak melakukan taqiyah (berdusta untuk menyembunyikan keyakinan syi’ahnya).”
Saat ini mereka semakin berani dengan mulutnya mengatakan dirinya syi’ah, demikian pula dalam bentuk dukungan fisik material dan mental spiritual terhadap pengikutnya. Seperti terekam dalam kehadiran tokoh-tokoh ini di tempat pengungsi syi’ah Sampang, Madura, sebagai bentuk dukungan terhadap mereka. Berikut ini adalah tokoh-tokoh tersebut:
1. Jalaludin Rahmat
jalaluddin2brakhmat
Seorang yang pada tahun akhir 1980-an dikenal sebagai pakar komunikasi. Sampai saat ini dia adalah pengajar di Universitas Padjajaran (Unpad) Bandung. Dia disebut-sebut sebagai tokoh sentral syi’ah Indonesia. Ternyata ini bukan isapan jempol bila dilihat dari kiprahnya dan dan sepak terjangnya pada organisasi syi’ah di Indonesia.
Pendiri dan pimpinan SMA Muthahhari, Bandung ini juga menjadi pendiri Islamic Cultural Center (ICC) Jakarta bersama Dr. Haidar Bagir. Jalaludin Rahmat kini menjabat sebagi Ketua Dewan Syura Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI) yang kini sudah mempunyai hampir 100 Pengurus Daerah (tingkat kota) di seluruh Indonesia dengan jumlah anggota sekitar 2,5 juta orang.
Selain itu ia mendirikan Pusat Kajian Tasawuf (PKT): Tazkia Sejati, OASE-Bayt Aqila, Islamic College for Advanced Studies (ICAS-Paramadina), Islamic Cultural Center (ICC) di Jakarta, PKT Misykat di Bandung. Semua lembaga-lembaga tersebut adalah organisasi syi’ah. Bisa dilihat pada buku Fakta dan Data Perkembangan Syi’ah di Indonesia September 2012, karya ustadz Farid Ahmad Okbah MA.
Adapun pernyataan Kang Jalal, begitu dia biasa dipanggil yang mendukung syi’ah yakni pada 29 Agustus 2012 lalu, dia mengancam untuk menumpahkan darah Ahlus Sunnah di Nusantara atas bentrokan Sampang Madura. “Orang-orang Syiah tidak akan membiarkan kekerasan ini. Karena untuk pengikut Syiah, mengucurkan darah bagi Imam Husein adalah sebuah kemuliaan,” ujar Jalaluddin
2. Dina Y. Sulaeman
Dina Y Sulaeman
Perempuan yang lahir di Semarang pada 30 Juli 1974. Penerima summer session scholarship dari JAL Foundation untuk kuliah musim panas di Sophia University Tokyo ini lulus dari Fak. Sastra Arab Universitas Padjdjaran tahun 1997. Ia sempat menjadi staf pengajar di IAIN Imam Bonjol Padang.
Tahun 1999 meraih beasiswa S2 dari pemerintah Iran untuk belajar di Faculty of Teology, Tehran University. Tahun 2011, ia menyelesaikan studi magister Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran. Tahun 2002-2007 ia berkarir sebagai jurnalis di Islamic Republic of Iran Broadcasting.
Dina penulis yang produktif, banyak masyarakat yang tidak mengetahui bahwa dia adalah seorang syiah sejati. Berikut ini sejumlah buku yang telah ditulisnya, antara lain, Oh Baby Blues, Mukjizat Abad 20: Doktor Cilik Hafal dan Paham Al Quran, Pelangi di Persia, Ahmadinejad on Palestine, Obama Revealed, Bintang-Bintang Penerus Doktor Cilik, Princess Nadeera, Prahara Suriah dan Journey to Iran.
Aktif menulis artikel opini politik Timur Tengah yang dimuat di media massa dan berbagai website. Otong Sualeman suami Dina, juga syiah,  dia adalah mahasiswa Qom yang menulis novel Dari Jendela Hauzah, terbitan grup Mizan. Keduanya pernah bekerja sebagai jurnalis di IRIB (Radio Iran Indonesia) selama tujuh tahun di Iran.







3. Haidar Bagir
haidar-bagir (1)
Haidar Bagir bersama Jalaluddin Rakhmat, mendirikan Yayasan Muthahhari, yang mengelola SMA (Plus) Muthahhari di Bandung dan Jakarta.
Haidar Bagir merupakan pendiri perusahaan Penerbit Mizan. Oleh karena itu, perlu diwaspadai buku-buku terbitan Mizan tentang persoalan Syiah dan Ahlus Sunnah. Demikian juga ia pernah bekerja di surat kabar Republika, sehingga sampai sekarang pengaruhnya terhadap pemberitaan Syi’ah masih menyudutkan Ahlus Sunnah, membela Iran dan sekutu-sekutu Syi’ahnya, dan melakukan taqiyah dalam pemberitaannya.
Haidar Bagir lahir di Solo, 20 Februari 1957 ini adalah alumnus Teknologi Industri ITB 1982 dan mengenyam pendidikan pasca sarjana di Pusat Studi Timur Tengah Harvard University, AS 1990-1992, dan S-3 Jurusan Filsafat Universitas Indonesia (UI) dengan riset selama setahun (2000 – 2001) di Departemen Sejarah dan Filsafat Sains, Indiana University, Bloomington, AS. Sejak awal 2003, dia mendapat kepercayaan sebagai Ketua Yayasan Madina Ilmu yang mengelola Sekolah Tinggi Madina Ilmu yang berlokasi di Depok.
Di antara pengalaman pekerjaan lainnya, menjadi direktur utama GUIDE (Gudwah Islamic Digital Edutainment) Jakarta, ketua Pusat Kajian Tasawuf Positif IIMaN, Ketua Badan Pendiri YASMIN (Yayasan Imdad Mustadh’afin), staf pengajar Jurusan Filsafat Universitas Madina Ilmu (1998), staf pengajar Jurusan Filsafat Universitas Indonesia (1996), dan staf pengajar Jurusan Filsafat Universitas Paramadina Mulya, Jakarta (1997).





4. DR. Khalid Al Walid, MA
dr-khalid-al-walid
Ketua Majelis Ulama Indonesia Pusat KH. Cholil Ridwan, menjelaskan bahwa organisasinya melakukan evaluasi atas dugaan adanya seorang tokoh Syiah dalam kepengurusan MUI pusat. Hal ini mengemuka setelah tokoh tersebut datang ke Sampang atas nama MUI pusat, mendesak dicabutnya fatwa sesat Syiah dari MUI Jatim.
Pengurus MUI yang terindikasi sebagai penganut Syiah adalah DR. Khalid Al-Walid. Ia adalah alumnus dari Hawzah Ilmiah Qom, yang judul desertasinya di UIN Syarif Hidayatullah adalah “Pandangan Eskatologi Mulla Shadra”.
Saat disertasinya diuji oleh tim penguji dari UIN Syarif Hidayatullah, Prof. DR. Azyumardi Azra pada Tahun 2008 lalu. Tiba di bagian akhir acara, Azyumardi bertanya, “Apakah Anda penganut mazhab Syi’ah? Jangan salah duga”. Tanyanya.
“Saya akan bangga bila UIN berhasil meluluskan seorang doktor Syiah, karena menjadi bukti nyata bahwa lembaga ini menjunjung tinggi pluralisme dan toleransi antar mazhab Islam,” lanjut Direktur Pascasarjana UIN tersebut.
Khalid Al Walid saat itu menjawab, “Eh… Saya sama dengan Pak Haidar,” jawabnya berdiplomasi seraya menunjuk DR. Haidar Bagir yang duduk di samping Prof. DR. Mulyadhi Kartanegara yang menjadi pembimbing disertasi Khalid Al Walid. Sebagaimana diketahui, Haidar Bagir adalah tokoh Syiah di Indonesia dan selalu membela berbagai kepentingan Syiah.
Selain itu, DR Khalid Al Walid juga menjabat sebagi dewan syuro Ahlul Bait Indonesia (ABI), ormas lokomotif  kelompok syiah di Indonesia.
Dalam daftar pengurus MUI yang tercantum dalam situs resminya, tercantum nama Dr. H. Khalid al-Walid, M.Ag yang menjabat sebagai Wakil Ketua Komisi Ukhuwah Islamiyah MUI Pusat.



5. Muhsin Labib
Muhsin Labib
Labib adalah Dosen Filsafat di UIN Syarif Hidayatullah yang merupakan lulusan Muhsin Qum Iran. Ia menulis banyak buku tentang Syiah dan menjadi pembela Syi’ah Imamiyah di berbagai kesempatan.
Di antara buku-bukunya adalah Ahmadinejad: David di Tengah Angkara Goliath, Husain Sang Ksatria Langit, Kamus Shalat, Gelegar Gaza, Primbon Islam, Goodbye Bush,dan lainnya.
Muhsin Labib pernah mengatakan, “Orang yang anti Syiah adalah orang yang esktrimis dan menjadi ancaman bagi negara Republik Indonesia.”
6. Penyanyi Haddad Alwi
Dia  adalah penyanyi yang cukup terkenal yang biasa berduet dengan biduanita Sulis. Salah satu lagunya yang berjudul Ya Thoybah, diubah liriknya dalam bahasa Arab dan berisi pujian pada Ali bin Abi Thalib secara berlebihan.
Hadad Alwi turut mengunjungi korban konflik sosial syiah di Sampang Madura 29 September 2012. Dia memberi motifasi dan dukungan kepada para pengungsi syiah.
haddad-alwi1
Sementara, kalau nyanyiannya itu seperti Ya Thoybah, tidak mudah diidentifikasi oleh orang awam kebanyakan, sehingga orang tidak mudah untuk menyalahkannya. Karena dia berbahasa Arab, menyebut nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sahabat Ali radhiyallahu ‘anhu menyebut Al-Quran dan sebagainya. Padahal, nyanyian Ya Thoybah itu justru isinya berbahaya bagi Islam, karena ghuluw (berlebih-lebihan) dalam memuji Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu.
Berikut ini kutipan bait yang ghuluw dari nyanyian Ya Thoybah (wahai Sang Penawar): Ya ‘Aliyya bna Abii Thoolib Minkum mashdarul mawaahib. Artinya: “Wahai Ali bin Abi Thalib, darimulah sumber keutamaan-keutamaan (anugerah-anugerah atau bakat-bakat).”
- See more at: http://www.arrahmah.com/kajian-islam/kenali-dan-waspadai-tokoh-tokoh-syiah-indonesia-ini-dari-penyanyi-hingga-anggota-mui-pusat.html#sthash.ygQ7jGin.dpuf

PENDAPAT – PENDAPAT ULAMA & INTELEKTUAL  MUSLIM INDONESIA TENTANG SYIAH

Ø  Prof. Dr. Umar Shihab (Ketua MUI Pusat): “Syiah bukan ajaran sesat, baik Sunni maupun Syiah tetap diakui Konferensi Ulama Islam International sebagai bagian dari Islam.” (rakyatmerdekaonline.com)

Ø  KH. Said Agil Siradj (Ketua Umum PB NU) : “Ajaran Syiah tidak sesat dan termasuk Islam seperti halnya Sunni. Di universitas di dunia manapun tidak ada yang menganggap Syiah sesat.“ (tempo.co)

Ø  Prof Dr.Din Syamsuddin (Ketua Umum PP Muhammadiyah): “Tidak ada beda Sunni dan Syiah. Dialog merupakan jalan yang paling baik dan tepat, guna mengatasi perbedaan aliran dalam keluarga besar sesama muslim.” (republika.co.id)

Ø  KH. Abdurahman Wahid (gus Dur) : “Syiah itu adalah NU plus imamah dan NU itu adalah Syiah minus imamah”.

Ø  Prof. Dr. Amin Rais (Mantan Ketua PP Muhammadiyah/Ketua MPR RI ): “Sunnah dan Syiah adalah mazhab-mazhab yang legitimate dan sah saja dalam Islam.“(satuislam.wordpress.com)

Ø  Prof. Dr. Komaruddin Hidayat (Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta): “Syiah merupakan bagian dari sejarah Islam dalam perebutan kekuasaan, dari masa sahabat, karenanya akidahnya sama, Alqurannya, dan nabinya juga sama.” (republika.co.id)

Ø  Prof. Dr.Syafi’i Ma’arif (Cendikiawan Muslim, Mantan Ketua PP Muhammadiyah): “Kalau Syiah di kalangan mazhab, dianggap sebagai mazhab kelima.” (okezone.com)

Ø  Marzuki Alie (Ketua DPR RI): “Syiah itu mazhab yang diterima di negara manapun di seluruh dunia, dan tidak ada satupun negara yang menegaskan bahwa Islam Syiah adalah aliran sesat.“ (okezone.com)

Ø  KH Nur Iskandar Sq (Ketua Dewan Syuro PPP): “Kami sangat menghargai kaum Muslimin Syiah.” (inilah.com)

Ø  KH. Alie Yafie (Ulama Besar Indonesia): Dengan tergabungnya Iran yang mayoritas bermazhab Syiah sebagai negara Islam dalam wadah OKI, berarti Iran diakui sebagai bagian dari Islam. Itu sudah cukup. Yang jelas, kenyataannya seluruh dunia Islam, yang tergabung dalam 60 negara menerima Iran sebagai negara Islam (tempointeraktif)

PERTANYAAN:
JIKA TOKOH-TOKOH INDONESIA MENGANGGAP SYIAH MUSLIM DAN SAUDARA MEREKA, MAKA SIAPAKAH ORANG-ORANG TAKFIRIYAH (KELOMPOK PENGKAFIRAN) YANG MEMUSUHI SYIAH INI??



CORAK PEMIKIRAN SYIAH

Asas pemikiran Syiah dan seluruh sumber maʻārif (jamak bagi perkataan pengetahuan) Syiah adalah al-Qur'an. Syiah melihat seluruh zahir ayat-ayat Al-Qur’an, perilaku dan perbuatan, bahkan diamnya Nabi (s.a.w) sebagai hujjah. Selanjutnya Syiah juga memandang ucapan, perilaku dan diamnya para Imam Maksum juga sebagai hujjah. Di samping al-Qur'an menjelaskan hujjiyah (argumentatif) melalui logik akal, al-Qur'an juga menyokong jalan mukasyafah (penyingkapan) dan syuhūd (penyaksian) untuk meraup berbagai pengetahuan dan makrifat.
Asas pemikiran seperti ini dapat dirumuskan dengan beberapa perkara di bawah ini:
  1. Keyakinan terhadap keesaan Allah (s.w.t) dan kesucian-Nya dari segala kekurangan, serta seluruh sifat-Nya dihiasi dengan kesempurnaan.
  2. Keyakinan terhadap usn dan qub ʻaqlī (kebaikan dan keburukan yang ditimbang dalam pandangan akal) dan sesungguhnya akal memahami bahawa Allah (s.w.t) tidak akan mengerjakan perbuatan-perbuatan tercela dan buruk.
  3. Keyakinan terhadap kemaksuman pada para nabi Ilahi dan Rasulullah (s.a.w) selaku penutup kenabian.
  4. Keyakinan bahawa hanya Allah yang mengangkat khalifah Rasulullah melalui Nabi (s.a.w) atau imam sebelumnya. Jumlah khalifah Rasulullah (s.a.w) pula adalah dua belas orang di mana yang pertama adalah Ali bin Abi Thalib dan yang terakhir adalah Imam Mahdi (a.j.f) yang kini hidup dan menantikan perintah Ilahi (bagi kemunculannya).
  5. Keyakinan terhadap kehidupan setelah kematian dan sesungguhnya manusia akan mendapatkan ganjaran atau balasan atas segala perbuatan yang dilakukannya di dunia.
  1. Sumber pertama mazhab Syiah dalam meraih pengetahuan
Sumber pertama yang dijadikan sandaran oleh mazhab Syiah adalah al-Qur'an. Al-Qur'an merupakan keterangan dan bukti pasti tentang kenabian Rasulullah (s.a.w) secara umum dan abadi. Kandungan-kandungannya adalah seruan kepada Islam. Namun menjadikan Qur'an sebagai sumber pertama tidak bermakna menafikan sumber-sumber dan hujjah-hujjah yang lain. Kecuali sebagaimana yang akan kami jelaskan bahawa al-Qur'an sendiri menjelaskan sumber-sumber yang lain.
 
  1. Jalan-jalan yang diperkenalkan al-Qur'an untuk pemikiran Mazhab
Menerusi ajaran-ajaran Al-Qur'an, jelaslah terdapat tiga jalan bagi kaum Muslimin untuk sampai dan mengamati matlamat-matlamat agama dan maʻārif Islam
  1. Hal-hal Lahir pada Agama
Kita melihat penjelasan-penjelasan al-Qur'an menjadikan seluruh manusia sebagai objek pembicaraan. Kadang-kadang al-Qur'an tidak menggunakan argumentasi dalam penyampaiannya dan hanya bersandar pada firman-firman Allah (s.w.t) untuk mengajak manusia menerima asas-asas agama: seperti tauhid, kenabian, ma'ād. Begitu juga dengan hukum-hukum praktikal seperti perintah solat, puasa dan sebagainya, begitu juga larangan sebahagian perbuatan. Sekiranya penjelasan-penjelasan ayat al-Qur'an ini tidak dipandang sebagai hujjah maka sudah tentu al-Qur'an tidak sekali-kali meminta manusia untuk menerima dan mentaati seruan-seruannya.
Namun oleh kerana hal-hal zahir pada agama tidak terbatas pada ayat-ayat al-Qur'an, bahkan penjelasan-penjelasan, perbuatan dan diamnya (taqrir) Rasulullah (s.a.w) berdasarkan pada ayat-ayat zahir al-Qur'an itu dapat dipandang sebagai hujjah. "Laqad k
āna lakum fī RasuliLlah uswatun asana." (Sesungguhnya pada diri Rasulullah terdapat teladan, Surah Al-Ahzab [33]:21)
Demikian juga melalui riwayat mutawatir daripada Rasulullah (s.a.w) yang menegaskan bahawa ucapan, perbuatan dan diamnya Ahlulbaitnya (para Imam Maksum a.s) adalah seperti ucapan, perbuatan dan ikrar Rasulullah (s.a.w) sendiri.
Mengenai hadis-hadis yang dinukil daripada sahabat pula, selagi sesuai dengan ucapan atau perbuatan Nabi (s.a.w) dan tidak bertentangan dengan hadis Ahlulbait, maka hadis-hadis tersebut dapat diterima. Tetapi apabila hadis yang memuatkan pendapat peribadi sahabat tidak dapat dijadikan sebagai hujjah dan hukum yang dikeluarkan oleh sahabat adalah seperti hukum biasa yang dikeluarkan kaum Muslimin secara umum. Hal yang dapat dijadikan bukti bagi kita ialah sahabat sendiri melakukan perbuatan seperti ini bersama sahabat yang lain.
 
  1. Pendalilan akal
Kebanyakan ayat-ayat Al-Qur'an menyatakan manusia harus dibimbing kepada rasional dan menyeru manusia untuk berfikir, berintelektual, merenungi ayat-ayat āfāq dan anfus. Al-Qur'an sendiri melakukan pendalilan rasional untuk menyingkap berbagai realiti dan hakikat.  Al-Qur'an tidak berkata bahawa pertamanya hendaklah menerima kebenaran maʻārif Islam. Kemudian barulah menggunakan pendalilan dan menarik kesimpulan daripada argumen rasional yang diteliti serta maʻārif yang disebutkan. Bahkan kepercayaan yang benar-benar sempurna pada realiti menyatakan: “Usunglah argumen dan dari situ engkau akan menemukan dan menerima kebenaran maʻārif yang disebutkan”. Bukannya pertama berimanlah kemudian menyesuaikan dan melaraskannya dengan al-Qur'an barulah mengusung argumentasi serta dalil.
Argumentasi-argumentasi dan rasional akal yang digunakan manusia dengan fitrah untuk menetapkan dan membuktikan pandangan-pandangannya terdiri dari dua bahagian: Pertama, burhan (argumen) dan kedua jad
āl (dialektik).
"Burh
ān" adalah argumen yang bersandar pada fakta dan realiti. Dengan kata lain, hal-hal yang dibangunnya dapat diterima dan dibenarkan oleh akal yang dianugerahkan Tuhan kepadanya. Sebagaimana kita ketahui bahawa bilangan tiga lebih kecil dari bilangan empat. Pemikiran seperti ini adalah pemikiran rasional. Apabila dipraktikkan pada hal-hal universal yang berkaitan dengan alam semesta seperti pemikiran tentang awal penciptaan, penghujung alam semesta dan penghuninya maka pemikiran seperti ini disebut sebagai pemikiran falsafah.
"Jad
āl" (dialektik) adalah sebuah argumen yang diambil dari seluruh atau sebahagian hal-hal yang popular  (mashhūrāt) atau yang diterima secara umum (musallamāt). Sebagaimana hal ini digunakan oleh pemeluk agama-agama dan penganut mazhab-mazhab secara umum untuk membuat ketetapan pandangan-pandangan mazhabnya dengan kaedah-kaedah yang diterima secara umum. Al-Qur'an menggunakan kedua-dua jalan ini dan banyak ayat-ayat al-Qur'an yang menyebutkannya.
Pertama, al-Qur'an memerintahkan manusia untuk berfikir secara bebas mengenai perkara-perkara universal alam semesta, pengaturan seluruh semesta dan pengaturan khusus seperti langit, bintang, kitaran siang dan malam, bumi, tumbuh-tumbuhan, haiwan dan manusia. Al-Qur'an memuji penjelasan yang sangat diterima oleh akal.
Kedua, al-Qur'an memerintahkan manusia untuk berfikir dialektik yang umumnya disebut sebagai perbahasan teologi, dengan syarat ianya dilakukan dengan sebaik-baik model (untuk menyatakan kebenaran dengan baik tanpa disertai sikap keras kepala).

Syiah terkedepan dalam pemikiran falsafah dan teologi Islam

Orang yang akrab dengan perbuatan-perbuatan sahabat Rasulullah (s.a.w), dapat mengetahui dengan baik bahawa di antara tinggalan para sahabat yang berada di tangan kaum Muslimin hari ini tidak ada satu pun warisan yang tergolong sebagai pemikiran falsafah. Namun dengan mudah kita menemui pernyataan-pernyataan menarik Amirul Mukminin mengenai teologi dengan penerangan pemikiran falsafah yang amat mendalam.
Para sahabat, tabi'in dan orang-orang Arab pada masa itu tidak seorang pun yang mengenal pemikiran falsafah yang bebas. Tidak satu pun contoh falsafah menarik yang ditemui daripada ucapan-ucapan ulama yang hidup di dua abad pertama Hijrah. Satu-satunya penjelasan falsafah yang mendalam hanya dapat ditemui pada imam-imam Syiah, terutamanya Imam pertama dan Imam ke-lapan Syiah di mana mereka ini memiliki khazanah pemikiran-pemikiran falsafah yang tidak terhad. Mereka jua yang memperkenalkan pemikiran-pemikiran falsafah ini kepada sekelompok murid mereka.
Walaupun pemikiran falsafah menjadi masyhur pada awal-awal abad ketiga Hijrah seiring dengan penerjemahan kitab-kitab falsafah Yunani di kalangan kaum Muslimin, namun di kalangan majoriti Ahlusunnah tidak bertahan lama hingga abad ketujuh, setelah kewafatan Ibnu Rusyd Al-Andalusia, falsafah juga mengalami nasib yang sama. Tidak sama dengan apa yang terjadi dikalangan Syiah, falsafah tidak pernah berakhir sedetikpun. Faktor yang paling berpengaruh dalam proses pemeliharaan model pemikiran ini di kalangan Syiah adalah khazanah ilmu yang diwarisi oleh para Imam Syiah. Untuk menjelaskan masalah ini cukuplah kita membandingkan khazanah keilmuan Ahlulbait dengan kitab-kitab falsafah yang ditulis sepanjang perjalanan sejarah; Ini disebabkan kita akan mendapati dengan jelas bahawa hari demi hari falsafah semakin dekat dengan khazanah ilmu tersebut sehingga abad kesebelas Hijriah, di mana ianya selaras antara satu sama lain dan tidak ada lagi rintangan jarak kecuali pada ungkapan-ungkapan dan masalah redaksi sahaja.
 
  1. Penyingkapan (mukāshafah) dan Penyaksian (syuhūd)
Al-Qur'an memberikan penerangan yang menarik tentang seluruh maʻārif yang bersumber dari konsep tauhid dan hakikat sebenar ilmu mengenal Tuhan. Monotheisme yang sempurna berasal dari orang-orang yang telah melupakan dirinya dan mengerahkan seluruh anggota dirinya untuk menghadap alam yang tinggi. Dengan keikhlasan dan penghambaan, ia mencerahkan pandangannya dengan cahaya Tuhan dan dengan mata yang realistik ia menyaksikan seluruh hakikat segala sesuatu, malakut langit dan bumi. Melalui "keikhlasan dan penghambaan" serta iman yang kuat, malakut langit dan bumi serta kehidupan abadi akan tersingkap baginya.
Dengan memperhatikan ayat-ayat al-Qur'an berikut maka dakwaan ini akan menjadi jelas:
"Dan sembahlah Tuhanmu sampai keyakinan (ajal) datang kepadamu." (Surah Al-Hijr [15]:99)
"Sungguh kamu benar-benar akan melihatnya dengan ainul yakin." (Surah Al-Takatsur [102]:5-6)
"Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang soleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya.” (Surah Al-Kahf [18]:110)

Irfan Syiah
Pertama, sumber kemunculan Irfan dalam Islam harus dilihat pada akar umbi penjelasan-penjelasan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib (a.s) yang amat fasih dalam masalah hakikat-hakikat irfan dan tingkatan-tingkatan kehidupan maknawi di mana hal ini menjadi khazanah tak-terbatas kemudian mewariskan ma
ʻārif ini kepada umat manusia.
Kedua, amalan tuntutan-tuntutan syariat dalam sair dan sul
ūk serta menyelaraskan sair dan suluk dengan peraturan-peraturan syariat merupakan faktor yang paling penting dalam menjaga irfan Syiah dari berbagai penyimpangan pemikiran dan moral.
 


  1. Persembahan pemikiran Syiah dalam daerah Teologi
Apa kami jelaskan hingga kini adalah mengenai pemikiran Syiah secara ringkas. Namun hadiah dan persembahan pemikiran seperti ini sangatlah luas pada tahap praktikal dan keyakinan. Bahkan untuk menyebut judul-judul dan sub-judul juga menjadi sangat panjang. Kerana itu di sini kita hanya akan menyebutkan sebahagian judul dan sub-judul berbagai persembahan pemikiran Syiah pada daerah teologi (kalam) dan kami akan tempatkan perbahasan yang lebih terperinci dan jelas mengenai persembahan pemikiran Syiah dalam daerah teologi dan fiqh pada kesempatan akan datang:

  • Keyakinan terhadap kewujudan Tuhan merupakan konsep yang diterima secara umum oleh agama-agama Ilahi dengan banyak jalan argumentasi dan rasional yang dikemukakan berikaitan dengan masalah ini.

  • Tingkatan pertama tauhid adalah tauhid dhāti dan sebagai ikutannya adalah tauhid perbuatan. Ertinya Allah (s.w.t) itu Esa dan tidak ada yang menyerupai-Nya. Dzat-Nya adalah basī dan bukan rangkaian. Rangkaian rasional dan luaran (khariji) tidak terjadi pada zat-Nya. Zat Tuhan terhias dengan seluruh sifat kesempurnaan dan jauh dari segala cacat cela dan kekurangan. Sifat-Nya bukan merupakan tambahan bagi Dzat-Nya. Dalam mengerjakan segala urusan-Nya, Dia tidak memerlukan sesuatu atau siapa pun. Tidak satu pun entiti dan maujūd yang dapat memberikan bantuan kepada-Nya.

·         Alam semesta tidak memiliki pemelihara dan pengatur selain Tuhan. Sementara itu pengatur-pengatur yang lainnya seperti para malaikat hanya dapat menunaikan tugas tatkala mendapatkan izin daripada Allah (s.w.t).

·         Tauhid dalam ibadah merupakan konsep yang dianuti secara umum di kalangan seluruh syariat-syariat samawi. Tujuan diutusnya para nabi adalah mengingatkan dan menegaskan konsep ini.

·         Keyakinan terhadap syafaat dan tawassul. Sesuai dengan ajaran-ajaran al-Qur'an kedua-duanya tidak bertentangan dengan ajaran tauhid dan tidak termasuk sebagai perbuatan syirik.

·         Keyakinan terhadap usn dan qub ʻaqlī (perbuatan baik dan buruk yang ditimbang dengan akal). Hal ini menegaskan bahawa akal manusia dapat memahami bahawa Allah (s.w.t) sekali-kali tidak akan mengerjakan perbuatan buruk lagi tercela dan dan segala sifat aniaya dinafikan daripada-Nya.

·         Keyakinan terhadap husn dan qub ʻaqli memiliki hasil yang banyak di mana salah satu hasilnya adalah keyakinan terhadap keadilan (ʻadālah). Keadilan itu sendiri memiliki cabang dan banyak bahagian: misalnya keadilan Tuhan (di mana keyakinan terhadap keadilan Tuhan membuka gerbang-gerbang maʻārif, menyelesaikan berbagai  masalah teologi) kemestian adilnya seorang mujtahid, para hakim dan pemimpin politik dan sosial, imam jemaah, kesaksian di pengadilan dan sebagainya.

·         Keyakinan terhadap "amr baina al-amrayn" dalam pembahasan jabr dan ikhtiyār.

·         Kehendak Ilahi yang penuh hikmah menuntut manusia sampai pada kesempurnaan maka Allah mengutuskan para nabi kepada manusia dan tidak memandang bahawa peranan akal memadai dalam membimbing manusia mencapai tujuan-tujuan penciptaan yang tinggi.

·          Para nabi terpelihara dan terjaga dari kesalahan yang disengaja ataupun tidak, ketika dalam proses penerimaan dan penyampaian wahyu kepada umat manusia.

·         Para nabi Allah terpelihara dari segala jenis dosa dan perbuatan tercela.

·         Nabi Muhammad (s.a.w) merupakan nabi terakhir dari silsilah kenabian di mana kenabiannya disertai cabaran dengan mukjizat abadinya.

·         Ajaran Islam merupakan ajaran universal yang bersifat semesta bukan bersifat tempatan dan kedaerahan, atau kesukuan.

·         Nabi Muhammad (s.a.w) adalah Nabi terakhir, kitabnya merupakan penutup kitab-kitab dan syariatnya juga merupakan syariat terakhir dari silsilah syariat samāwī.

·         Kitab samāwī kaum Muslimin terjaga dari segala jenis penyelewengan, tiada sesuatu pun yang ditambahkan kepadanya juga tiada sesuatu yang dikurangi.

·         Kehendak Ilahi yang penuh hikmah menuntut Nabi (s.a.w) memperkenalkan imam dan pemimpin setelahnya dan baginda juga dengan menyatakan Ali bin Abi Thalib (a.s) sebagai khalifah sepeninggalannya dan Nabi (s.a.w) telah menunaikan tugas ini dengan baik dalam berbagai peristiwa.

·         Tugas imam setelah wafatnya Rasulullah (s.a.w) adalah: Menjelaskan al-Qur'an, menerangkan hukum-hukum syariat, menjaga masyarakat dari penyimpangan, menjawab seluruh pertanyaan yang berkaitan dengan agama dan keyakinan, melaksanakan keadilan di tengah masyarakat, membentengi pembatasan-pembatasan Islam daripada musuh-musuh.

·         Imam dan khalifah Rasulullah (s.a.w) dari sisi keilmuan dan akhlak sentiasa mendapat perhatian Ilahi dan berbagai pengajaran melalui bantuan gaib; ertinya seorang maksum seperti Rasulullah (s.a.w), harus terpelihara dari segala jenis kesalahan, kelupaan dan kelalaian serta dari berbagai dosa.  Atas dasar ini, hanya Tuhan sahaja yang dapat menentukan siapakah imam dan hal itu dilakukan melalui Nabi (s.a.w) atau imam sebelumnya.

·         Khalifah Rasulullah (s.a.w) adalah dua belas orang dan redaksi "itsna 'asyar khalifah" (dua belas khalifah) telah disebut dalam sumber-sumber kedua mazhab di mana khalifah pertamanya adalah Ali bin Abi Thalib dan khalifah terakhirnya adalah Imam Mahdi bin Hasan al-Askari (a.j.f).

·         Turutan nama-nama suci para imam dan khalifah Rasulullah (s.a.w) sebagai berikut: 1. Ali bin Thalib. 2. Hasan bin Ali. 3. Husain bin Ali. 4. Ali bin Husain. 5. Muhammad bin Ali. 6. Ja'far bin Muhammad. 7. Musa bin Ja'far. 8. Ali bin Musa. 9. Muhammad bin Ali. 10. Ali bin Muhammad. 11. Hasan bin Ali. 12. Muhammad bin Hasan (Imam Mahdi (a.j.f)).

·         Imam Keduabelas Imam Mahdi Mau'ud (yang dijanjikan) putra Imam Hasan Askari lahir pada tahun 255 Hijriah di Samarra (Irak) dan hingga kini masih hiup serta sedang menanti perintah Ilahi untuk bangkit (menegakkan pemerintahan berkeadilan). Pada zaman keghaiban Imam Mahdi (a.j.f) yang menjabat sebagai pemimpin pemerintahan Islam adalah walī faqīh.

·         Di antara ciri-ciri pemikiran Syiah ialah terbukanya pintu ijtihad; ertinya dalam bidang fikah dan hukum-hukum praktikal, Syiah memandang bahawa penerapan kaedah-kaedah universal atas masalah-masalah partikular dan simpulan aturan-aturan syariat dari teks-teks agama tetap terbuka dan tidak terbatas pada apa yang dipahami oleh orang-orang terdahulu.

·         Kemunculan seseorang daripada keluarga Nabi (s.a.w) di akhir zaman untuk menegakkan keadilan dan membimbing manusia ke arah kesempurnaan yang sebenar merupakan salah satu keyakinan yang diterima dalam Islam di mana terdapat banyak hadis daripada kedua belah mazhab Syiah dan Sunni yang menegaskan hal ini. Bahkan kemunculan seorang penyelamat merupakan salah satu keyakinan agama-agama dan mazhab-mazhab yang ada di dunia hari ini seperti agama Kristian, Yahudi, Zoroastrian dan sebagainya.

·         Keyakinan terhadap adanya rajʻah terhadap sebahagian orang yang akan kembali ke dunia setelah kematian mereka sebelum berlangsungnya peristiwa kiamat.


·          Keyakinan terhadap kehidupan pasca kematian dan manusia memperoleh ganjaran atas amal baiknya dan hukuman atas amal buruknya di alam akhirat dan bahawa kematian bukanlah berakhirnya kehidupan. Bahkan dengan kematian manusia akan berpindah ke dunia yang lain dan melintasi terminal antara alam dunia dan alam akhirat yang disebut sebagai barzakh yang memiliki kehidupan, nikmat dan azab tertentu.

SUMBER :
Iqbal, Muhammad, Fiqih Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, Jakarta: Gaya Media Persada, 2001.
Nasution, Harun, Teologi Islam: Aliran – Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: UI Press, 1986.
Pulungan, Suyuti, Fiqih Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 1997.



CIRI – CIRI PENGIKUT SYIAH

Indonesia tengah menjadi target Syi’ahisasi besar-besaran. Hingga kini banyak pengikutnya berada di berbagai wilayah Indonesia, terutama di Jawa Barat dan Sulawesi Selatan.
Jumlah penganut Syiah di Indonesia Ketua Dewan Syura Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI) Jalaluddin Rakhmat, pernah mengatakan kisaran jumlah penganut Syiah di Indonesia , “Perkiraan tertinggi, 5 juta orang.” sebagian besar ada di Bandung, Makassar, dan Jakarta. Selain itu, ada juga kelompok Syiah di Tegal, Jepara, Pekalongan, dan Semarang; Garut; Bondowoso, Pasuruan, dan Madura.
Diperkirakan, kebanyakan dari mereka sedang melakukan taqiyah dalam rangka melindungi diri dari kelompok Sunni. Taqiyah adalah kondisi luar seseorang dengan yang ada di dalam batinnya tidaklah sama. Memang taqiyah juga dikenal di kalangan Ahlus Sunnah. Hanya saja menurut Ahlus Sunnah, taqiyah digunakan untuk menghindarkan diri dari musuh-musuh Islam alias orang kafir atau ketika perang maupun kondisi yang sangat membahayakan orang Islam.
Sementara itu menurut Syi’ah bahwa Taqiyah wajib dilakukan. Jadi taqiyah adalah salah satu prinsip agama mereka. Taqiyah dilakukan kepada orang selain Syi’ah, seperti ungkapan bahwa Al Quran Syi’ah adalah sama dengan Al Quran Ahlus Sunnah. Padahal ungkapan ini hanyalah kepura-puraan mereka. Mereka juga bertaqiyah dengan pura-pura mengakui pemerintahan Islam selain Syi’ah.
Menurut Ali Muhammad Ash Shalabi, taqiyah dalam Syiah ada empat unsur pokok ajaran ; Pertama, Menampilkan hal yang berbeda dari apa yang ada dalam hatinya.  Kedua, taqiyah digunakan dalam berinteraksi dengan lawan-lawan Syiah. Ketiga, taqiyah berhubungan dengan perkara agama atau keyakinan yang dianut lawan-lawan. Keempat, digunakan di saat berada dalam kondisi mencemaskan
Menurut Syaikh Mamduh Farhan Al-Buhairi di Majalah Islam Internasional Qiblati, ciri-ciri pengikut Syi’ah sangat mudah dikenali, kita dapat memperhatikan sejumlah cirri-ciri berikut:
  1. Mengenakan songkok hitam dengan bentuk tertentu. Tidak seperti songkok yang dikenal umumnya masyarakat Indonesia, songkok mereka seperti songkok orang Arab hanya saja warnanya hitam.
  2. Tidak shalat jum’at. Meskipun shalat jumat bersama jamaah, tetapi dia langsung berdiri setelah imam mengucapkan salam. Orang-orang akan mengira dia mengerjakan shalat sunnah, padahal dia menyempurnakan shalat Zhuhur empar raka’at, karena pengikut Syi’ah tidak meyakini keabsahan shalat Jum’at kecuali bersama Imam yang ma’shum atau wakilnya.
  3. Pengikut Syi’ah juga tidak  akan mengakhiri shalatnya dengan mengucapkan salam yang dikenal kaum Muslimin, tetapi dengan memukul kedua pahanya beberapa kali.
  4. Pengikut Syi’ah jarang shalat jama’ah karena mereka tidak mengakui shalat lima waktu, tapi yang mereka yakini hanya tiga waktu saja.
  5. Mayoritas pengikut Syi’ah selalu membawa At-Turbah Al-Husainiyah yaitu batu/tanah (dari Karbala – redaksi) yang digunakan menempatkan kening ketika sujud bila mereka shalat tidak di dekat orang lain.
  6. Jika Anda perhatikan caranya berwudhu maka Anda akan dapati bahwa wudhunya sangat aneh, tidak seperti yang dikenal kaum Muslimin.
  7. Anda tidak akan mendapatkan penganut Syi’ah hadir dalam kajian dan ceramah Ahlus Sunnah.
  8. Anda juga akan melihat penganut Syi’ah banyak-banyak mengingat Ahlul Bait; Ali, Fathimah, Hasan dan Husain radhiyallahu anhum.
  9. Mereka juga tidak akan menunjukkan penghormatan kepada Abu Bakar, Umar, Utsman, mayoritas sahabat dan Ummahatul Mukminin radhiyallahu anhum.
  10. Pada bulan Ramadhan penganut Syi’ah tidak langsung berbuka puasa setelah Adzan maghrib; dalam hal ini Syi’ah berkeyakinan seperti Yahudi yaitu berbuka puasa jika bintang-bintang sudah nampak di langit, dengan kata lain mereka berbuka bila benar-benar sudah masuk waktu malam. (mereka juga tidak shalat tarwih bersama kaum Muslimin, karena menganggapnya sebagai bid’ah)
  11. Mereka berusaha sekuat tenaga untuk menanam dan menimbulkan fitnah antara jamaah salaf dengan jamaah lain, sementara itu mereka mengklaim tidak ada perselisihan antara mereka dengan jamaah lain selain salaf. Ini tentu tidak benar.
  12. Anda tidak akan mendapati seorang penganut Syi’ah memegang dan membaca Al-Qur’an kecuali jarang sekali, itu pun sebagai bentuk taqiyyah (kamuflase), karena Al-Qur’an yang benar menurut mereka yaitu al-Qur’an yang berada di tangan al-Mahdi yang ditunggu kedatangannya.
  13. Orang Syi’ah tidak berpuasa pada hari Asyura, dia hanya menampilkan kesedihan di hari tersebut.
  14. Mereka juga berusaha keras mempengaruhi kaum wanita khususnya para mahasiswi di perguruan tinggi atau di perkampungan sebagai langkah awal untuk memenuhi keinginannya melakukan mut’ah dengan para wanita tersebut bila nantinya mereka menerima agama Syi’ah. Oleh sebab itu Anda akan dapati;
  15. Orang-orang Syi’ah getol mendakwahi orang-orang tua yang memiliki anak putri, dengan harapan anak putrinya juga ikut menganut Syi’ah sehingga dengan leluasa dia bisa melakukan zina mut’ah dengan wanita tersebut baik dengan sepengetahuan ayahnya ataupun tidak. Pada hakikatnya ketika ada seorang yang ayah yang menerima agama Syi’ah, maka para pengikut Syi’ah yang lain otomatis telah mendapatkan anak gadisnya untuk dimut’ah. Tentunya setelah mereka berhasil meyakinkan bolehnya mut’ah. Semua kemudahan, kelebihan, dan kesenangan terhadap syahwat ini ada dalam diri para pemuda, sehingga dengan mudah para pengikut Syi’ah menjerat mereka bergabung dengan agama Syi’ah.
Ciri-ciri mereka sangat banyak. Selain yang kami sebutkan di atas masih banyak cirri-ciri lainnya, sehingga tidak mungkin bagi kita untuk menjelaskan semuanya di sini. Namun cara yang paling praktis ialah dengan memperhatikan raut wajah. Wajah mereka merah padam jika Anda mencela Khomeini dan Sistani, tapi bila Anda menghujat Abu Bakar, Umar, Utsman, Aisyah dan Hafshah, atau sahabat-sahabat lainnya radhiyallahu anhum tidak ada sedikitpun tanda-tanda kegundahan di wajahnya.